#5

1.5K 66 1
                                    

Bagas berlari lebih cepat dari seekor cheetah menuju kelas Marva. Ia tahu, kejadian saat istirahat tadi membuat Marva sangat bingung. Seharusnya ia memberikan jawaban yang sedikit lebih masuk akal agar cewek jutek nan galak itu tidak sampai mengacuhkan dia seperti ini.

Setibanya dikelas Marva, hanya tersisa beberapa gelintir orang didalamnya yang sedang melaksanakan piket.

"Ada Marva?" tanya Bagas kepada perempuan tinggi berdarah Korea yang sedang menyapu di dekat pintu.

Perempuan itu menoleh kearah Bagas, dari situ Bagas dapat membaca name tag-nya, Rara Kim. "Udah pulang. Oh engga, Marva les, tadi buru-buru banget katanya mau try out."

Oh iya betul, Marva akan melaksanakan try out hari ini. Bagaimana bisa Bagas melupakan hal itu. Padahal ia juga akan melaksanakan try out.

"Oke, makasih ya!" lalu Bagas berjalan meninggalkan kelas Marva.

Sambil berjalan, ia memberi pesan singkat untuk Marva. Ya, hanya sekadar mencairkan suasana. Sambil berharap Marva tidak betul-betul marah padanya.

Bagas Tristan: Semangat TOnya gembel ciroyom

Belum sempat Bagas memasukkan ponselnya ke dalam saku celana abunya, Marva sudah membalas pesan singkatnya itu.

Marva Shareeza: berisik
Marva Shareeza: gausah sosoan nyemangatin gua lah
Marva Shareeza: btw bantuin fisika!!!!

Bagas tersenyum sendiri membaca pesan singkat dari Marva. Moodnya memang cepat sekali berubah. Tetapi inilah yang unik dari seorang Marva Shareeza, ia tidak bisa marah. Hal yang paling Bagas sukai dari sejak lama-lama-lama sekali. Ya, sejak lama.

Bagas Tristan: Kan elu sendiri yang bilang 'nyadar tong lu anak ips' waktu itu
Bagas Tristan: Skrg minta bantuin fisika
Bagas Tristan: Gimana sih
Bagas Tristan: Tidak konsisten

Marva Shareeza: terserah gue dong
Marva Shareeza: komen aja

Bagas yang tadinya akan berbelok ke tangga, mengurungkan niatnya karena melihat Marva sedang duduk sendirian di kantin yang kebetulan ada disamping tangga.

Kantin semi-outdoor di lantai 2 yang menyuguhkan pemandangan jalan perbatasan kota yang selalu macet saat jam pulang sekolah merupakan spot favorit seluruh siswa di sekolah Bagas. Sehingga kantin ini tidak pernah kosong walaupun pada saat jam pelajaran sedang berlangsung.

"Bukannya try out, lu malah makan." Ucapan Bagas tadi sukses membuat cewek tomboy dengan tatto aksara thailand di bawah telinganya kaget bukan main.

"Sirik aja," jawab Marva datar sambil menyuap nasi goreng favoritnya.

"Maafin yang tadi. Maafin buat semuanya."

Ucapan datar Bagas sukses membuat Marva menoleh kearahnya yang sekarang tengah duduk disampingnya. "Emang lo salah apa?"

Bagas menghela napas lega, untungnya Marva tidak mengingat apapun. "Ya, maaf aja. Takutnya lo marah sama gue gara-gara pas tadi istirahat."

"Oh itu." Marva menyimpan sendok terbalik pada piringnya, tanda ia sudah selesai makan. "Harusnya gue yang minta maaf. Gue maksa lo buat ngejelasin semuanya padahal bisa aja itu cuma imajinasi gue. Tapi by the way, gue punya satu pertanyaan tambahan."

Terjadi keheningan luar biasa yang menyelimuti keduanya selama beberapa detik. "Lo tau Bastian?"

Bagas menelan ludah. Ini gawat. Mau tidak mau, Bagas mengangguk. Sepandai-pandainya bajing meloncat, ia akan jatuh juga, kan?

"Siapa?"

"Orang yang pernah lo suka. Kalian dulu saling kenal kok."

"Ceritain dong, Gas. Oh iya, Bastian tuh yang mana ya? Anak sekolah kita?" Marva terlihat sangat antusias, sedangkan Bagas sangat cemas. Sangat-sangat cemas.

"Bastian udah gak ada, Va. Kabarnya dia bunuh diri gara-gara ada masalah. Gak tau masalah apa."

Kalimat barusan membuat air muka Marva seketika berubah sedih. Mengapa rasanya ia begitu kehilangan? Padahal ia saja lupa siapa Bastian.

"I'm sorry to hear that." Marva menerawang ke arah jalanan macet yang sudah sedikit terurai.

"Padahal kalau dia masih ada, gue pengeeeen banget bisa ngobrol sama dia. Pengen dia bisa cerita tentang masalahnya sama gue. Gue bakal bilang sama dia, pundak gue masih kosong, dia bisa pinjem dan nangis sepuasnya disini, biarpun gue gak bisa bantu dia nyelesain masalahnya, se-nggaknya dia bisa lega karena udah cerita."

Marva memejamkan mata dan meringis, rasanya ia pernah menyebutkan kalimat diatas. Tetapi, lagi-lagi ia tidak ingat kapan dan kepada siapa ia mengatakan kalimat itu.

"Va, lo gak apa-apa?"

Marva membuka matanya dan menoleh kearah Bagas yang masih duduk di sebelahnya lalu mengangguk. Tanda ia baik-baik saja. Namun, ada sesuatu yang janggal dari Bagas saat ia melihatnya.

"Gas?" Marva menggantung kalimatnya dan memperhatikan mata Bagas yang tiba-tiba memerah.

"Kenapa lo nangis?" lanjut Marva sambil menghapus bulir air mata yang berlinang di pipi Bagas.

Bagas sendiri mematung tak berdaya. Ia tak pernah merasa selemah ini didepan perempuan–ya, walaupun Marva tidak bisa dibilang benar-benar perempuan karena ia 1000% tomboy. Kalimat yang diucapkan Marva barusan membuat hatinya tersayat pedih. Seharusnya ialah yang menghapus air mata Marva, bukan sebaliknya.

Kesalahan Bagas sudah tidak bisa dimaafkan lagi, tetapi perempuan kuat dihadapannya ini malah bertingkah seolah tak ada yang terjadi. Hatinya benar-benar sekuat baja.

"Kenapa, Gas?" Pertanyaan Marva menyadarkan Bagas yang tengah dibayang-bayang masa lalu. Mau tak mau, ia harus jujur kepada Marva.

"Lo ngingetin gue sama seseorang yang pernah gue sia-siain."

"Siapa?"

Suasana kembali hening. Namun, entah apa sebabnya air mata Bagas kembali mengalir.

"Vale."

Yang Telah HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang