#1

5.7K 107 9
                                    

Bagas Tristan: Serius amat belajarnya neng
Bagas Tristan: Gue di parkiran nih menunggumu *eaa*
Bagas Tristan: Sumpah gue serius princess

Marva hanya mendengus sebal ketika layar handphonenya penuh dengan runtutan pesan tak bermutu dari Bagas. Namun gadis tomboy berkacamata minus 5 itu tidak menghiraukannya karena ia tahu Bagas sedang bercanda.

Bagas Tristan: Ih elu mah jahat gue dikacangin
Bagas Tristan: Kemon kita malmingan ke tukang kue balok

Ck. Laki-laki yang satu ini sepertinya titisan emak-emak doyan curhat, ngomong melulu. Mau tidak mau akhirnya Marva membalas pesan Bagas. Karena jika dibiarkan dia akan terus menerus mengirimi pesan singkat yang sangat tidak penting.

Marva Shareeza: berisik lah tai banteng

Marva menyimpan handphonenya dengan asal keatas meja. Sudah berjam-jam ia mengotak-atik soal matematika yang semakin kesini semakin sulit. Jam hitam yang melingkar ditangan kanannya menunjukan pukul 5 sore. Tetapi ia masih enggan pulang.

Seminggu ini Marva jadi doyan nongkrong di bimbelnya. Hampir setiap hari ia duduk diruang diskusi yang satu sisinya merupakan sebuah kaca lebar. Menyuguhkan pandangan langsung ke parkir bimbel sekaligus jalanan yang selalu macet.

Bagas Tristan: Demi neptunus gue ga tai banteng
Bagas Tristan: Seriusan gue diparkiran nih
Bagas Tristan: Udahan dong modusin guru gantengnya, gantian sama gue
Bagas Tristan: Gue juga bisa fisika
Bagas Tristan: Apalagi matematika peminatan
Bagas Tristan: Nanti dirumah gue ajarin yayayaya

Marva menahan tawanya. Bagas memang paling bisa membuat dia tersenyum sekalipun sedang berada dikeadaan yang sulit. Akhirnya Marva membuka kamera dan memotret kaca besar yang ada dihadapannya untuk membungkam Bagas.

Marva Shareeza: you sent a photo
Marva Shareeza: skak mat gas, mau ngomong apalagi lu?
Marva Shareeza: etdah nyadar tong lu anak ips
Marva Shareeza: mending lu belajar buat olimpiade geografi sono
Marva Shareeza: kalo menang, lo bisa ngajak gue malmingan kapanpun

Bagas Tristan: Ini diparkiran rumah maksud gue
Bagas Tristan: Geer amat bakal dijemput
Bagas Tristan: Oh iya bener
Bagas Tristan: DEMI GOD BENERAN LU?!
Bagas Tristan: Mending malmingannya sekarang aja, ntar kalo gue menang kan banyak fans, takutnya gaada waktu buat lo

Marva Shareeza: pemaksaan
Marva Shareeza: serah dah lelah hayati

Bagas Tristan: YES!
Bagas Tristan: Wait ya, jangan kabur!

Marva Shareeza: iye gembel

Bagas, dia satu-satunya manusia yang muncul saat Marva lahir. Bukan ketika lahir menjadi bayi merah yang amat lucu. Marva lahir ketika dia berusia 17 tahun. Ia tak bisa mengingat apapun dalam 17 tahun hidupnya kemarin. Bagas membantunya kembali mengingat dunia. Tetapi tidak untuk kenangannya. Marva tidak boleh mengingat itu.

Marva tahu ingatannya telah hilang. Maka dari itu bimbelnya bekerja keras untuk mengembalikan seluruh ingatannya tentang pelajaran disekolah, apalagi ia masuk jurusan IPA yang kesehariannya makan nasi lauk rumus. Untung saja Marva cepat dalam mengingat kembali. Semoga saja ia tidak cepat mengingat masa lalunya. Jangan sampai.

Siluet seorang laki-laki tinggi kurus duduk didepannya dan menghalangi cahaya jingga yang menyinari ruangan.

"Mending lu tulisin jadwal tambahan fisika nanti senin buat gue daripada lu mati nungguin gue beres ngerjain pr," ucap Marva sembari mengotak-atik rumus tanpa melirik lelaki itu sedikitpun.

"Gak botak apa belajar terus? Udah sore nih, refreshing dikit lah, mumpung cerah."

"Cerah jidatmu, Gas."

"Idih, galak amat lu, yaudah gue pulang." Bagas pergi meninggalkan Marva. Tetapi ia tahu, Bagas tidak akan benar-benar pergi. Marva dapat memperhatikan Bagas sedang mengisi jadwal tambahan untuknya di ruangan sebelah.

Saat Bagas kembali, Marva berpura-pura masih mengerjakan soal. Padahal sebenarnya ia sudah mengerjakan prnya sejak tadi.

"Sudah ditulis ya, ndoro putri. Fisika hari Senin jam 3 di bimbel depan sekolah. Ada yang bisa dibantu lagi?" Bagas berlagak layaknya pembantu di keraton kepada tuannya.

Marva tak tahan menahan tawa. Ia akhirnya tertawa terbahak-bahak didepan Bagas hingga menitikkan air mata. Ia melepas kaca matanya dan menghapus air mata yang memenuhi kelopak matanya. Sedangkan Bagas hanya mematung disamping kanannya.

"Gas, Gas. Mau aja gue kerjain. Yo ah, mari kita caw!" ajak Marva dengan diselingi tawa yang belum berhenti.

Ada yang unik dari seorang Bagas: orangnya bikin nyaman. Serius. Dua-rius malah. Dia tahu bagaimana cara membuat cewek judes dan tomboy semacam Marva luluh karena kelakuannya.

Seminggu hidup di dunia rasanya indah kalau ada Bagas. Ya, biarpun Bagas kadang nyebelin.

"Gas, ceritain dong gimana gue dulu, yaaa, sebelum gue yang sekarang."

Bagas memperhatihan gelas berisi STMJ yang mengepul sambil mengaduknya dengan asal. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu.

"Lo dulu, gimana ya, biasa aja sih, kurang lebih sama kayak yang sekarang. Bedanya dulu kita gak kenal," jelas Bagas

Marva tampak menerawang, mencari pertanyaan lain yang mungkin akan membawanya kembali ke dunianya yang dulu.

"Hmm, ceritain hal konyol yang pernah lo lakuin didepan gue dulu."

Bagas menunduk dan menahan tawa, sepertinya memori otaknya memutar lagi jalan cerita yang memalukan itu.

"Gue pernah ngejatohin saron pas kita tampil buat perpisahan kelas 12 tahun kemarin."

"Saron? Apaan tuh?"

"Saron, alat musik tradisional, sebentar gue cari fotonya dulu." Bagas tampak sibuk memainkan ponselnya dan mencari sebuah foto. "Nih, saron yang depan."

Bagas menyodorkan ponselnya diatas meja. Marva tampak memperhatikan dengan saksama foto yang ada di ponsel Bagas.

"Lo dulu main alat musik itu, Gas?"

"Oh nggak, waktu itu gue cuma bantuin bawa aja, gue kebagian main gong, tuh yang belakang."

Mata Marva berpindah fokus ke dua benda bulat berwarna emas yang digantung disebuah penyangga bernuansa merah dan emas. Rasanya ia dulu pernah melihatnya.

SRTTT. Tiba-tiba dirinya seperti disambar petir. Ada ingatan yang masuk ketika ia melihat gong itu. Tetapi ia tidak dapat mengingat jelas ingatan apa yang menghampirinya barusan.

Marva buru-buru menyadarkan dirinya sebelum Bagas menyadari apa yang terjadi. "Oh itu. Eh, terus gue dulu main alat musik apaan?"

"Lo dulu jadi penarinya."

SRTTT

'Nama, Valencia Sherina, kelas XI IPA 8, panggil aja Vale, profesi sebagai penari."

SRTTT

Valencia Sherina.

Nama siapa itu?

Yang Telah HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang