#4

1.6K 65 3
                                    

Oke, ini benar- benar membingungkan. Bukannya mendapat jawaban atas pertanyaan sebelumnya, Marva malah mendapat satu pertanyaan yang lagi-lagi tak dapat dijawabnya.

Rivaldo. Satu nama lagi yang masih menjadi sebuah misteri tersendiri untuk Marva.

"Va? Woy!" KLIK. Marva kembali tersadar setelah Bagas menjentikkan jari kurusnya tepat di wajah Marva.

"Ini kesekian kalinya lo ngelamun dalam kurun waktu sepuluh menit terakhir, ada apa? Ada sesuatu yang lo inget?" tanya Bagas lengkap dengan tatapan penuh tanya.

Marva yang masih dalam mode bingung bukan main dan shock dengan dua kejadian sekaligus dalam sehari itu, tidak menjawab Bagas. Ia malah mengaduk-aduk choco cappucino dinginnya tanpa mengiraukan Bagas yang duduk didepannya dengan tatapan bingung.

"Va." Bagas meraih tangan Marva yang tengah mengaduk minumannya dan menggenggamnya erat. "Cerita sama gue. Oh iya, by the way, lo kemarin keinget apa sampai pingsan gitu?"

Marva menghela napas panjang. "Gue ngeliat lo di lorong tempat wudhu cewe kemarin."

Alis tipis Bagas beradu. Tanda tanya besar ada di pikirannya. "Gue? Kagak. Ngapain juga gue nyelip-nyelip kesitu."

"Dan lo manggil seseorang bernama Vale," lanjut Marva datar.

DEG. Rasanya Bagas terkena serangan jantung kecil. Ini tidak mungkin.

"Demi neptunus, itu bukan gue. Lagipula, siapa Vale?" Bagas membuang pandangan kearah jalanan yang sedang kosong.

Marva hanya mengernyit tak paham. Sebenarnya siapa Vale itu? Jika Bagas saja tidak tahu siapa Vale, lalu mengapa ia ada dalam ingatannya?

"Oh iya, Gas. One question." Marva menggantung kalimatnya lalu menyedot cokelat dingin yang sedari tadi hanya ia kocek-kocek. "Lo tau Rivaldo?"

Bagas hampir saja menyemburkan kuah batagor yang baru saja disuap kedalam mulutnya.

"Rivaldo? Siapa itu?" Bukannya menjawab, Bagas malah bertanya balik kepada Marva yang mulai bingung dengan pikirannya sendiri.

"Gue kan nanya, Gaaaaas," ucap Marva kesal dengan penekanan penuh pada kata terakhir, tanda ia sudah gatal ingin menerkam Bagas yang hanya menjawab 'tidak tahu' semua pertanyaannya.

"Elaaah, gue aja baru denger nama itu pas lo ngomong barusan, Va."

"Bohong," jawab Marva singkat dan datar. Ada yang tidak beres.

"Va, gue gak tau siapa itu Vale maupun Rivaldo, okay? Mungkin itu cuma halusinasi lo. Atau mungkin hantu yang nunggu–"

TRINGGGG! TRINGGGG!

Bel tanda jam istirahat telah habis membuat seluruh orang yang ada di kantin satu persatu membubarkan diri, termasuk Marva yang langsung berdiri meninggalkan Bagas yang masih duduk di bangku kantin.

"Eh, eh, princess. Mau kemana?" Ck. Bagas mengacak-acak rambutnya asal. Sebentar lagi semua akan terungkap.

Marva berjalan cepat menuju kelasnya. Perasaan bingung bercampur rasa ingin mencakar wajah seluruh orang bercampur menjadi satu. Efek datang bulannya kali ini benar-benar dahsyat.

"Heh, Marva!"

Langkah Marva terhenti tepat di pintu kelasnya dan mendapati kroco-kroconya sedang berkumpul didepan kelas XI IPA 7.

"Hey, what's up, bruh?" Marva menyapa Erika, Sandara, dan Friska dengan gaya tomboynya yang khas.

Erika tampak melihat-lihat sekeliling, seperti mencari seseorang. "Lo gak sama Bastian?"

Untuk kesekian kalinya Marva mengernyit. "Siapa Bastian?"

Tiga kroco dihadapannya tiba-tiba saja saling sikut. Marva semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

"E-Eh, namanya Bagas, Erikaaaa, bukan Bastian," sambung Friska sedikit canggung.

"Sejak kapan Bastian berubah na–AAAAW!" pertanyaan Erika terpotong karena kakinya diinjak oleh Sandara.

"Besok latihan taekwondo gak, Va? Lo dicariin Sabeom Ferdi," tanya Sandara mengalihkan pembicaraan.

"Siapa Bastian?" Marva mengulangi pertanyaannya tadi tanpa menjawab pertanyaan dari Sandara.

Mereka saling tatap. Bingung harus bicara apa kepada Marva yang mulai mengintrogasi mereka.

"Jawab gue, siapa Bas-ti-an?"

"Woy! Pak Heri!" Erika menunjuk ke arah belakang Marva.

Marva otomatis membalik badan, takut anjing herder milik sekolah alias wakasek kesiswaan itu tiba-tiba saja menyalahkan apa saja yang ada di depannya.

Dan ternyata tidak ada.

"Kagak ada–" begitu menengokkan kepala lagi, tiga manusia sialan itu sudah hilang, "–kampret."

Yang Telah HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang