BRAK!
Suara gebrakan meja membuat siswa satu kelas mengalihkan pandangan ke sumber suara. Sedangkan si pemilik meja yang sedari tadi asyik menjelajah alam mimpi, terlonjak kaget bukan main sekaligus mengumpat dengan berbagai macam bahasa preman terminal overdosis lem Aibon.
"KELUAR KAMU!"
Tanpa banyak membantah, ia langsung keluar kelas dari pada diterkam singa gurun yang galaknya tujuh turunan itu.
Ia mengacak rambutnya frustasi. Rasa kantuk yang masih belum hilang, masalah yang tak kunjung usai, merencanakan pengakuan terlarang, semuanya memenuhi kepalanya yang dirasa-rasa akan pecah lima detik lagi.
"Hello honey bunny sweety Bastian."
Suara itu, Hana.
"Lo bego apa kurang makan micin sih? Udah gue bilang, GUE BUKAN BAS-TI-AN!" bentak dia tanpa rasa kemanusiaan.
"Ow, sorry sorry Bagas, jangan marah dong sayang."
Bagas pergi dari hadapan Hana, muak dengan segala kelakuan menjijikan perempuan itu. Namun, terdengar suara langkah kaki terdengar mengikutinya, disusul dengan tangan dingin yang menyentuh lengannya. Ia menepisnya kasar.
Bagas mempercepat langkahnya, tangan dingin itu menyentuhnya lagi, lalu ditepisnya dengan kasar. Setiap kali ia menepisnya, suara tangis yang ditahan semakin terdengar.
Berulang kali, hingga tiba di lorong sepi menuju gerbang sekolah, ia kehilangan kesabarannya
"PERGI BANGSAT!"
PLAK!
Dalam waktu sepersekian detik, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan seorang perempuan yang sejak tadi mengikutinya.
Mata Bagas membulat, tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Dunianya serasa berhenti dan akan runtuh sebentar lagi.
"Ma-Marva?"
Bagas mengulurkan tangannya, namun ditepis keras-keras oleh Marva.
"Va, maafin gue, gue kira–"
Bagas menggantungkan kalimatnya ketika melihat bercak darah di lantai. Separah itukah?
BUK!
Sebuah bogem mentah mengenainya, membuat ia tersungkur ke lantai. Darah segar terasa mengalir dari hidungnya.
"JANTAN BANGET YA NAMPAR CEWEK SAMPE BABAK BELUR!"
Bagas berusaha bangkit. "Gu-gue kira, dia–gue gak bermaksud–"
BUK!
Satu tonjokan lagi. Kepalanya terasa pusing.
"Kalau lo gak bisa menyayangi, setidaknya jangan menyakiti." Suaranya terdengar datar, namun menusuk.
Bagas mencoba bangkit lagi, mengamati seorang laki-laki yang berdiri di depannya dan membaca name tagnya, Audindra Rama. Sesaat setelahnya, dirinya ambruk lagi ke lantai.
Audindra beralih ke Marva yang menunduk dengan darah masih mengalir dari hidungnya. Audindra mengeluarkan sapu tangannya untuk menghentikan darah dari hidungnya. Audindra mengangkat dagu Marva dengan lembut. Pemandangan yang pertama kali Audindra lihat adalah mata sembab, darah yang mengalir lewat hidung, dan sudut bibir yang ternyata juga luka.
Dengan cekatan, Audindra membantu Marva berdiri dan segera ke UKS. Seorang petugas UKS menyambut mereka berdua.
"Aduh, cantikku kenapa?" tanya Bu Dewi, petugas UKS, sambil membawa Marva duduk di sebuah ranjang.
"Dia di–"
"Kena bola, Bu. Saya tadi duduk di pinggir lapang, nonton futsal." Marva memotong penjelasan Audindra dengan cepat.
"Duh, makanya perempuan jangan nongkrong di pinggir lapang dong, sayang. Sebentar, Ibu ambil obat dulu."
Bu Dewi menghilang dibalik ruangan penyimpanan obat. Audindra menatap Marva yang memegangi luka di sudut bibirnya.
"Ayo, kita lapor ke BK."
"Jangan, please."
"Ini kelewatan, Va. Undang-undang masih berlaku."
Marva menggeleng, "jangan..."
"Kenapa? Lo udah disakitin–"
"Dia baik."
Lalu seulas senyum tulus mengembang di bibir Marva. Senyum yang entah-kenapa membuat Audindra merasa ingin melindunginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Telah Hilang
Dla nastolatków[-] Ketika lupa menjadi jalan terbaik. Ketika permintaan telah terkabul. Ketika takdir tak dapat diubah. Ketika semua tak lagi sama. Ketika luka hati tak dapat disembuhkan. Ketika serpihan hati yang telah hilang datang kembali. Ketika penggalan-pen...