#14

1.1K 53 5
                                    

Tik. Tok. Tik. Tok.

Marva membolak-balik tubuhnya kasar. Ia tidak bisa tidur. Ia menatap jam dinding bermotif bola sepak di dinding kamarnya, pukul dua dini hari. Sedangkan ia harus bangun pukul lima nanti untuk pergi ke sekolah.

Ada perasaan sakit yang menusuk dadanya sejak teringat ia pernah menangisi Bastian, seolah segalanya baru saja terjadi.

Dan segalanya sangat menyakitkan pada saat itu. Bahkan terbawa hingga sekarang.

Akibat dari semua kekacauan di hati Marva, ia melampiaskannya dengan menegak habis tiga cangkir kopi hitam dalam satu waktu dengan dalih untuk menenangkan pikiran. Alhasil, sampai menjelang pagi pun ia belum berhasil tertidur disertai maag kambuh.

Marva meraih ponselnya yang tergeletak di bantal. Ia menekan tombol home, seketika layar ponselnya menampilkan foto Marva dan Bagas yang berpose duck face lengkap dengan mata juling. Senyum Marva mengembang begitu saja. Entah apa yang menyusup ke dalam hatinya, foto itu dengan magis mampu menenangkannya.

Marva menyimpan ponselnya kembali lalu menghela napas samar. Bastian. Nama itu masih saja menghantui pikirannya. Siapapun dia, dia pasti pernah dicintai Marva dengan sepenuh hati.

Sebuah ide hinggap di kepala Marva. Ia segera bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil sehelai kertas binder dan sebuah pulpen.

Dengan posisi tengkurap, ia mulai menarikan pulpen di atas kertas, menuangkan sesuatu ke dalam kertas bergaris itu. Surat untuk Bastian.

...

Bagas memarkirkan motornya di halaman rumah Marva. Jam hitam yang melingkar di tangan kirinya masih menunjukkan pukul empat pagi. Ia sengaja datang sepagi ini karena kemarin sore ia tidak datang ke rumah Marva. Ia hanya merasa tidak enak semenjak Marva menelponnya semalam.

Ada sesuatu yang menyesakkan Bagas sejak Marva menceritakan tentang ingatannya akan Bastian kemarin.

Sepelan mungkin Bagas memutar kunci lalu membuka pintunya. Di dalam masih gelap, tentu saja karena Marva masih tidur.

Bagas melangkahkan kakinya ke kamar Marva, kamar dengan dinding biru tua yang dihiasi poster-poster Valentino Rossi dan bendera bernomor 46, lengkap dengan die cast motor Valentino Rossi berbagai jenis dan ukuran yang dipajang di meja belajarnya. Dari ambang pintu, ia dapat melihat Marva yang tidur tengkurap lengkap dengan kertas dan pulpen yang masih ia pegang. Mungkin Marva tertidur saat mengerjakan PR.

Bagas mendekatkan dirinya ke Marva yang masih tertidur pulas, memastikan bahwa PRnya sudah selesai sesaat sebelum Marva tertidur. Namun yang ia dapati bukan kertas berisi rumus-rumus trigonometri, berbagai reaksi redoks, ataupun rumus menghitung tekanan air pada pipa, melainkan sebuah surat panjang yang ditulis penuh satu lembar bolak-balik.

Penasaran, Bagas menarik perlahan surat itu. Ia duduk di kursi meja belajar Marva dan mulai membaca surat itu,

"Untuk Bastian..."

DEG. Bagas merasakan jantungnya berhenti selama beberapa saat lalu berpacu dua kali lebih cepat dari sebelumnya.

"Siapun kamu yang bernama Bastian, kamu telah memasuki pikiranku tanpa permisi. Bagas bilang, aku pernah menyukaimu, benarkah?

Bastian, Bagas juga bilang kamu sudah tiada, benarkah itu? Jika iya, tenanglah kamu disana, aku disini akan baik-baik saja. Jika tidak, syukurlah, aku masih bisa menemuimu suatu hari nanti, entah kapan, tapi aku sangat berharap kita dapat bertemu lagi."

Bagas merasakan gejolak dalam hatinya, matanya memanas.

"Bastian, Bagas juga pernah bilang kalau kamu bunuh diri karena suatu masalah, benarkah?

Kamu tau, bahuku kosong, kamu bisa menangis sepuasnya disini. Aku mungkin tidak bisa menyelesaikan masalahmu, tetapi setidaknya kamu sudah merasa sedikit lega karena bisa menuangkan segalanya.

Bastian, aku harap Bagas berbohong. Aku sangat berharap kamu benar-benar nyata dan hidup, bisa bertemu denganmu dan memelukmu erat dalam sisa hidupku.

Bastian, mungkin aku telah lupa, tetapi aku masih bisa merasakan perasaan itu masih ada dalam hatiku dan terus tumbuh.

Semua itu tidak pernah berubah.

Aku harap kita akan bertemu suatu hari nanti.

Tapi kamu harus janji untuk tetap tersenyum.

Aku tidak ingin melihat kamu bersedih.

Karena aku tidak ingin melihat orang yang aku sayang bersedih.

Tertanda,
Marva"

Napas Bagas terasa terhenti. Ada yang mencuri oksigen dalam paru-parunya. Tidak, ia tidak boleh menangis.

Bagas bangkit dari kursinya dan berjalan pelan ke arah Marva. Ia meletakkan kembali kertas itu pada tempatnya semula.

Tangan Bagas beralih ke wajah Marva yang tertutup rambut cokelatnya. Ia menyisipkan rambut-rambut itu ke belakang telinga Marva, membuat wajah Marva yang sawo matang terlihat jelas.

Sedetik kemudian, Bagas memberi kecupan kecil di pipi Marva, "Bastian pasti janji akan selalu tersenyum."

Setelah itu, Bagas menaikkan selimut hingga ke leher Marva, ia menatapnya sebentar diiringi dengan senyum samar, lalu berjalan keluar kamar.

Padahal sedari tadi, Marva sudah terbangun. Ia perlahan membuka matanya dan menutupnya lagi bersamaan senyum yang tiba-tiba saja mengembang.

Yang Telah HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang