"Yee si kunyuk tidur lagi."
Natasha tidak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya yang selalu menjadikan sekolah sebagai tempat tidurnya nyaris setiap kesempatan.
"Aiza tolonglah teman hidup lo ini mohon dikondisikan jam tidurnya. Udah hampir dua bulan dia gini terus. Kalo viral nanti jadi film sleeping handsome gimana?!" Ya, Marva memang ganteng untuk ukuran perempuan.
"Ya mana gue tau. Lo harusnya bilang gitu ke Bagas bukan ke gue, emangnya gue emaknya dia?" sewot Aiza.
"Serah lu dah," Natasha mengalah.
"Woy, teman-teman mohon perhatiannya," suara Derry–ketua kelas XI IPA 8–mengalihkan perhatian seluruh orang di kelas, "minggu depan kita UAS–"
Mendadak semua orang panik, jadwal UAS seharusnya dilaksanakan dua minggu lagi. Sialnya, sekolahnya yang kampretnya-gak-ketulungan ini memajukannya seminggu. Sedangkan banyak materi yang belum tuntas.
"HEY DENGERIN DULU!" Suara Derry yang menggelegar membuat sekelas terdiam kembali, "habis UAS kita ada porak. Lombanya futsal doang. Buat cewek-ceweknya jangan mabal ya! Nonton yang futsal, dong, support."
Lalu disusul dengan dengusan sebal dari seluruh siswi yang sudah berniat tidak sekolah selepas UAS.
...
Tidak sesuai ekspektasi pada awalnya. Hingga menjelang jam delapan pun tak ada satupun manusia yang muncul di kelas Marva. Hanya dirinya dan puluhan amplop warna-warni yang ada di hadapannya. Ia membuatnya sendiri dengan kertas origami untuk Bastian.
Semua amplop ini yang membuatnya selalu tidur di kelas dua bulan terakhir. Ia selalu tidur lewat tengah malam hanya untuk menulis sepucuk surat untuk Bastian setiap harinya. Karena perasaan itu...
...masih ada.
Marva kembali merapikan amplop itu ke dalam tasnya setelah menyelesaikan amplop terakhir dan nyaris meninggal dunia karena terkejut dengan kehadiran sosok hantu jepang di depannya.
"Aduh Erikaaaa, kalo masuk kelas orang salam dulu napa, kaget gue, bangsat!"
"Ehehe, ya maap," Erika terkekeh, "by the way, lo gak nonton futsal?"
"Males."
"Gak biasanya."
Dahi Marva berkerut, "gak biasanya?"
Erik menghela napas pelan, "porak terakhir bulan Desember lo maksa-maksa gue untuk nemenin lo nonton futsal sampai sore cuma gara-gara Bagas dan detik ini gue melihat sesosok Marva yang males nonton futsal, sungguh aneh."
"Tunggu-tunggu, porak bulan Desember gue nunggu sampai sore cuma buat Bagas? Gue aja baru kenal Bagas akhir-akhir ini."
Mampus Erika, "E-Eh, kok Bagas sih, salah kan gue, aduh itu siapa sih lupa gue namanya."
"Bastian?"
Ekspresi Erika berubah pias, "Lo inget?"
"Enggak sih, nebak doang, Bagas bilang gue pernah suka sama entah siapa yang bernama Bastian itu, jadi gue nebak alasan gue nonton futsal sampai sore gara-gara dia. Tapi bener kan?"
"I-Iya."
"Bastian kelas mana?"
Mati kau Erika, "E-Em, gak tau."
"Bener gak tau?"
Erika mengangguk kaku.
"Lo gak nyembunyiin sesuatu kayak Bagas kan?"
Mata Erika membulat lalu menggeleng cepat.
Marva terdiam sesaat, lalu berdiri dan menarik tangan Erika dengan cepat, "ayo ke lapang."
...
Marva dan Erika memilih koridor lantai dua untuk menonton futsal yang diselenggarakan di lapangan. Selain karena sepi, pemandangan dari atas dapat mencakup seluruh lapangan tanpa harus terhalangi orang lain.
"Ini yang main kelas mana?" tanya Erika.
"Kelas sebelas, tapi gak tau kelas mana."
Musik ala pertandingan sepak bola dimainkan. Tepuk tangan begitu meriah saat dua orang hakim garis dan seorang wasit muncul diikuti dengan dua tim berbeda di belakangnya. Mata Marva menangkap sosok Bagas yang memakai jersey merah di bawah sana, Bagas tampak terkejut saat mengetahui Marva menontonnya dari tempat yang sama seperti dulu.
Marva melambaikan tangannya pada Bagas dan dibalas dengan lambaian tangan juga. Bagas membalikkan badan untuk berbaris membentuk garis horizontal.
Napas Marva terhenti. Matanya jatuh pada Bagas yang membelakanginya. Pikirannya beralih ke sebuah gambaran yang pernah ia gambar sebelumnya.
Seorang lelaki dengan jersey bernama Rivaldo dan nomor punggung delapan itu...
...ternyata adalah Bagas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Telah Hilang
Novela Juvenil[-] Ketika lupa menjadi jalan terbaik. Ketika permintaan telah terkabul. Ketika takdir tak dapat diubah. Ketika semua tak lagi sama. Ketika luka hati tak dapat disembuhkan. Ketika serpihan hati yang telah hilang datang kembali. Ketika penggalan-pen...