Angin sore menerpa wajah Marva yang baru saja membuka kaca helmnya. Ia kini tengah dibonceng Bagas ke tempat tujuan yang sama sekali tidak Marva ketahui. Yang ia tahu hanyalah jalan yang terus menanjak hingga nyaris ke puncak gunung dan pohon-pohon rindang di sekitarnya.
"Gas, kita mau kemana sih? Jauh betul," teriak Marva di pundak Bagas.
"Ada deh."
"Lu gak ada niatan bawa gue ke hutan terus lu ninggalin gue disana kan?"
"Pikiran lu psikopat banget elaah. Lagian siapa yang mau ke hutan sih."
"Lah terus ngapain kita sore-sore ke tempat rimbun lembab gini? Atau jangan-jangan lu mau daftar jadi keluarga gorilanya Tarzan?"
"Habis ketabrak malah makin sinting ya," Bagas terkekeh pelan.
"Ih jahat." Marva melengkungkan bibirnya ke bawah dan menjauh dari pundak Bagas.
"Jangan marah dong princess, kita sampai nih."
Bagas membelokkan motornya ke sebuah pelataran parkir dan memarkirkan motornya disana. Marva menatap takjub pemandangan hijau di sekitarnya hingga sepasang tangan menutupi kedua matanya.
"Ayo jalan," ucap Bagas tepat di telinga Marva.
Marva mulai berjalan mengikuti petunjuk Bagas. "Oke sekarang gue mulai berfirasat akan menjadi sepupunya tarzan lima menit lagi."
"Tolong buang jauh-jauh pikiran tarzan beserta keluarga gorilanya itu, Va. Karena kita lebih mirip Upin Ipin daripada sekelompok gorila antah berantah."
"Oh jadi kita mau jagain Sapy-nya Uncle Muthu?"
Bagas hampir saja bunuh diri dengan meloncat ke jurang terdekat gara-gara percakapan yang semakin tidak bermutu dengan Marva. Tetapi ia mengurungkan niatnya karena tahun depan ia akan Ujian Nasional.
"Enggak."
"Terus?"
"Kita nyasar di hutan dan ketemu hantu durian."
"Bagas, sepertinya lo deh yang makin sinting belakangan ini."
"Marva Shareeza pacarnya Alan Walker, tolong jangan membalikan fakta–Va, hati-hati, tangga."
Marva menuruni tangga dengan perlahan. "Bagas, jangan bilang ini tangga turun ke kawah Tangkuban Parahu."
"Marva, kayaknya yang nabrak lo tadi salah ya bawa lo ke rumah sakit."
"Kenapa?"
"Harusnya lo dibawa ke tempat ruqyah."
"Rasanya ingin berkata kasar."
"Nah, sampai." Bagas membuka tangannya yang menutupi mata Marva. Sedetik kemudian Marva mendapati dirinya berdiri disebuah bukit yang menghadap ke arah tenggelamnya matahari. Semburat cahaya jingganya yang menghangatkan menerpa wajahnya.
"Sebentar lagi matahari tenggelam, waktunya lo buat permintaan."
Marva menengok ke arah Bagas yang berdiri di sampingnya, "permintaan? Bukannya permintaan cuma bisa saat bintang jatuh?"
Bagas berdecak dan memutar bola matanya, "karena kalau pas bintang jatuh lo-nya udah keburu tidur."
"Hehehe, oke, aku akan buat permintaan."
Marva dan Bagas sama-sama terpejam. menyebut permintaan dalam hatinya. Hingga matahari telah bersembunyi di balik bukit seberang, mereka membuka mata.
"Jadi, apa yang lo minta?" tanya Bagas.
"Lo dulu."
"Harapan gue" Bagas sengaja menggantungkan kalimatnya. "Gue ingin selalu bisa deket sama lo. Kalau lo?"
Mendengar ucapan Bagas barusan, Marva tidak bereaksi apa-apa selain memasang wajah seperti anak kecil yang menyesal dengan pilihan mainannya. "Tapi, gue gak menyebut nama lo dalam permintaan gue."
"It's up to you."
Senyum Marva mulai mengembang. "Gue berharap bisa ketemu kakak gue, Bastian, dan Bastian yang kata lo pernah gue suka–ya walaupun lo pernah bilang dia udah gak ada, tapi gue selalu yakin dia masih ada."
Bagas merasakan jantungnya tertancap bambu runcing. Senyum Marva yang terus mengembang malah menbuat bambu tak kasat mata itu semakin menusuk dalam.
Ini tidak mungkin.
"Kakak? Sejak kapan lo punya kakak?"
"Gak tau, cuma tadi pas gue siuman, ada yang dateng, bilangnya dia kakak gue, namanya Bastian–namanya sama persis kayak someone yang dulu gue suka ya," Marva terkekeh sendiri,"terus gue pura-pura merem, dia duduk di samping tempat tidur gue, terus gak tau kenapa dia manggil gue dengan nama Vale. Tapi dia kayaknya salah orang deh, masa gue di panggil Vale, gak mungkin kan gue berubah nama."
Bagas hanya mematung di tempat. Tidak bereaksi apapun. Membuat senyum di wajah Marva menghilang seketika. "Gas?"
"Bastian memang kakak Vale."
Kening Marva berkerut, tak paham. "Terus, yang tadi nyamperin gue?"
"Dia Bastian."
"Kenapa dia ngira gue Vale?"
Bagas menghembuskan napasnya pelan, "Karena lo, sangat mirip dengan Vale."
"Apa gue ini Vale?"
Bagas nyaris pingsan di tempat jika ia tidak bisa mengatur napasnya, "bukan."
"Lalu?"
Bagas memajukan badannya dan kedua tangannya mencubit pipi Marva, "Lo Marva Shareeza pacarnya Alan Walker."
Marva menepis dengan keras tangan Bagas dan mengelus pipinya, "sakit, monyong."
Bagas terkekeh dan merangkul bahu Marva, "ayo pulang."
Bagas dan Marva meluncur ditengah dinginnya malam. Meninggalkan bukit tempat membuat permohonan.
Dan meninggalkan pertanyaan besar di kepala Marva.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Telah Hilang
Подростковая литература[-] Ketika lupa menjadi jalan terbaik. Ketika permintaan telah terkabul. Ketika takdir tak dapat diubah. Ketika semua tak lagi sama. Ketika luka hati tak dapat disembuhkan. Ketika serpihan hati yang telah hilang datang kembali. Ketika penggalan-pen...