Hari ini perasaanku masih sama dengan perasaanku selama satu minggu ini. Setiap kali aku pulang di sore hari, rasanya selalu hampa. Perasaan ini muncul karena setiap hari selama satu minggu, bisa dibilang aku tidak berbicara dengan Daniel sama sekali.
Kalaupun berbicara, pasti aku yang memulai dan diakhiri dengan satu jawaban singkat yang keluar dari mulut Daniel. Selanjutnya hanya kecanggungan yang mengisi ruang di antara aku dan Daniel. Persahabatanku dengannya mungkin telah hancur, dan akulah yang menghancurkannya.
Terkadang masih terasa rasa kecewa di hati, sebab aku masih berharap Daniel sebagai sahabat terbaikku, mau menerima aku apa adanya seperti apa yang pernah dikatakan Mario.
Tapi memang masalahku ini bukan masalah yang mudah bagi orang lain, bahkan mungkin bagi diriku sendiri.
Dengan langkah yang lesu, akupun mulai membuka pintu depan kosanku. Pintu ini memang selalu terkunci untuk menjaga keamanan para penghuni kosanku. Namun dalam keadaanku belakangan ini, bahkan untuk menemukan kunci yang tepat dari beberapa kunci di kantongku pun menjadi hal yang berat.
Seperti sekarang ini, sudah dua kali aku gagal menemukan kunci yang tepat untuk pintu ini, entah ada apa dengan ku ini.
“Sini! Biar gue aja!” tiba-tiba terdengar suara dari belakangku. Aku pun menoleh ke sumber suara itu. Oh ternyata Mario.
“Eh ... elo, Yo.”
Mario pun maju mendekat ke arah pintu untuk membukanya dan aku pun sedikit bergeser untuk memberikan ruang padanya.
“Muka lo tuh makin asem aja, sampe buka pintu aja gak konsen,” kata Mario sambil membuka pintu.
“Hu'um. Sorry, Yo.”
“Udah kebuka nih, yuk masuk!”
Kami berdua pun masuk ke dalam kosan, tidak lupa Mario mengunci pintu depan kembali.
“Thanks ya, Yo. Gue ke kamar dulu.”
“Tunggu, Jo!”
“Kenapa, Yo?”
Setelah selesai mengunci pintunya, Mario pun bergerak ke arahku dan merangkul pundakku seperti layaknya seorang sahabat.
“Masalah lo masih belum selesai ya?”
“Iya, Yo. Biarlah, mungkin memang salah gue.”
“Tapi lo itu terlalu ngebawa masalah lo berat banget kayaknya. Muka lo aja kayak gak ada harapan hidup gitu.”
“Sialan lo!” kataku sambil tertawa kecut.
“Lo mau ikut gue nggak ntar malem? Kayaknya lo butuh refreshing.”
“Hah? Kemana?”
“Sini deh, duduk dulu!”
Akhirnya kami berdua pun duduk di sofa ruang tamu kosan kami.
“Ntar malem, gue ada janji sama temen gue di night club.”
“Hah? temen apa klien?”
“Ya gitulah, sama aja. Lo ikut ya!”
“Nggak ah. Gue ngeri ke night club.”
“Ya elah Jonathan, yang namanya night club itu biasa aja kali. Nggak sehina yang di TV-TV.”
“Tapi tetep aja kan gue bakal dugem, mabok, dll.”
“Kalo mabok ya tergantung elo nya kali, lo minum orange juice juga bisa kok di night club.”
Sejenak aku berpikir. Mario pun nampaknya memberiku waktu untuk berpikir sejenak. Sebelumnya, aku belum pernah sama sekali pergi ke night club. Selain memang biasanya membuang banyak uang, aku juga terbayang tentang kelamnya aktivitas di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Untuk Sahabatku
Fiction générale❌Cerita repost bertema gay ❌Writer : Stephan Frans ❌Homophobic Diharap Menjauh