Seseorang memegang tanganku dari belakang tepat sebelum tanganku memegang tangan Daniel. Spontan, aku pun menoleh ke arah belakang untuk melihat sosok orang itu.
Mario!
Dia tepat berdiri di sisi belakang kananku dan sekarang memegang tanganku. Matanya tajam menatap ke arahku.
“Lo bilang, elo mau ngerubah perasaan lo ke dia kan?”
Mendengar perkataannya itu, aku hanya bisa terdiam dan menarik tanganku yang sudah sangat dekat dengan tangan Daniel.
Ya, Mario memang mengetahui hampir semua perasaanku, termasuk perasaanku pada Daniel. Sejak peristiwa malam ulang tahunku lima bulan lalu, bukan cuma aku dan Daniel yang makin dekat. Aku dan Mario pun semakin akrab.
Mario adalah tempat aku menumpahkan dan berbagi tentang perasaanku. Bahkan mungkin terhadap Mario aku lebih terbuka dibandingkan terhadap Daniel. Mungkin karena aku merasa Mario sama denganku sehingga semua terasa lebih nyaman ketika aku berbagi tentang perasaanku dengannya.
“Sorry, Yo. Tadi gue cuma mau kasih semangat ke Daniel.” Aku yang merasa bersalah ini hanya bisa menunduk dan tidak berani memandang Mario.
“Terserah lo aja sih, tapi gue cuma mau bantu ngingetin lo. Dia kan sahabat lo, jadi sebaiknya lo bisa nahan diri. Gitu kan, kata lo?”
“Iya, Yo. Sorry.”
“Ya udah lah, nih baju lo. Mandi dulu gih! Udah bau.”
Mendengar nada bicaranya yang mulai berubah aku mulai berani mendongakkan kepalaku ke arah Mario. Ya, wajah Mario yang sekarang sudah kembali normal. Tatapan mata yang tajam tadi sudah menghilang dari wajahnya.
“Enak aja lo. Thanks ya, udah dibawain bajunya. Lo bisa gantiin gue bentar gak jagain Daniel selama gue mandi?"
“Beres boss. Mandi gih!”
“Hehehe ... thanks ya, Yo.”
Setelah mendengar kesediaan Mario, sekarang aku bisa mandi dengan tenang karena ada yang jagain Daniel. Saat mandi, aku masih teringat peristiwa barusan. Memang aku salah sih, padahal aku sudah berjanji untuk merubah perasaanku ke Daniel.
Tapi dari semua itu, satu yang benar-benar masih teringat jelas di otakku adalah tatapan tajam Mario. Tatapan itu rasanya sangat penuh emosi. Tatapan yang aku tidak habis pikir kenapa bisa terjadi di saat seperti itu, bahkan untuk melihat kedua kalinya pun aku tidak sanggup.
Entahlah. Mungkin karena saat itu Mario terbawa emosinya. Selesai mandi akupun mempersilahkan Mario untuk pulang. Tapi tidak disangka, Mario malah menolaknya. Dia bilang dia akan menemaniku menjaga Daniel malam itu.
Seperti biasa, permintaan Mario adalah suatu hal yang paling susah aku tolak. Akhirnya kami berdua pun bermalam bersama di rumah sakit. Aku merasa beruntung karena Mario menemaniku malam itu, sebab paling tidak ada teman mengobrol selama aku menunggui Daniel.
Sepanjang malam, Daniel tertidur lelap dan sama sekali tidak terbangun. Mungkin karena pengaruh obat tidur yang dia minum setelah makan.
Keesokan harinya, aku terbangun karena mendengar suara orang mengobrol di dekatku. Ternyata Mario dan Daniel sedang mengobrol tidak jauh dari tempat tidurku yang notabene adalah sofa kamar inap Daniel.
“Loh, kalian udah asik ngobrol?”
“Eh ... udah bangun, Jo.”
“Iya, ini tadi si Daniel kebangun, terus kaget liat gue. Ya wajar sih, soalnya kita baru satu kali ketemu, itupun udah hampir setahun yang lalu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Untuk Sahabatku
General Fiction❌Cerita repost bertema gay ❌Writer : Stephan Frans ❌Homophobic Diharap Menjauh