Aduh, ternyata Jakarta begitu riuh dan ramai. Aku sedikit menyesal menolak ajakan Marko untuk mengantarkanku ke rumah Daniel.
Alhasil, sekarang hanya berbekal selembar kertas bertuliskan alamat Daniel yang diberikan Marko, aku nekad ke Jakarta sendirian. Kota yang baru untuk kedua kalinya aku datangi seumur hidupku.
Saat pertama kali aku ke kota ini pun sudah sekitar 10 tahun lalu, ketika orang tuaku mengajak aku mengunjungi salah seorang kerabat di kota ini.
Tapi tekadku sudah bulat. Demi rasa yang aku miliki untuk Daniel, aku tidak akan pernah menyerah, apalagi menyerah pada kota metropolitan ini.
Aku memang sengaja tidak menghubungi Daniel, karena aku ingin memberikan kejutan untuknya. Ah, setelah hampir tiga jam aku berkeliling-keliling, akhirnya sampai juga aku di komplek rumah Daniel di Kelapa Gading.
Komplek perumahan di sini nampak begitu mewah di mataku. Berbeda sekali dengan komplek perumahanku di Jogjakarta.
Aku jadi semakin penasaran untuk menemukan rumah Daniel. Nomor 34, sekarang aku berada di rumah nomor 20, berarti seharusnya tidak jauh lagi.
Dengan perut yang keroncongan karena belum makan sejak tadi pagi, aku terus menelusuri komplek perumahan Daniel.
Ah, ini dia rumah dengan nomor 34. Wah ... ternyata rumah Daniel benar-benar bagus. Walaupun tidak terlalu besar, tapi rapi dan kesannya mewah.
Sejenak aku terdiam. Mendadak jantungku begitu berdebar-debar ketika aku sudah sampai di depan rumah Daniel. Aku bingung apa yang harus aku katakan pada Daniel ketika nanti aku bertemu dengannya.
Pikiranku pun mulai melayang ke segala kemungkinan yang akan terjadi ketika aku bertemu dengan Daniel, setelah satu bulan kami berpisah. Apa mungkin Daniel akan senang dengan kedatanganku, atau malah kedatanganku tidak dia harapkan saat ini. Mengingat besok sore dia sudah harus berangkat ke Australia untuk melanjutkan studi-nya.
“Cari siapa, Mas?”
Lamunanku buyar karena pertanyaan dari seorang wanita paruh baya yang saat ini sedang berdiri di depanku, dibatasi oleh pagar rumah Daniel.
“Oh ... maaf Bu. Danielnya ada?”
“Oh ... temennya Mas Daniel ya?”
“Iya, saya temen kuliahnya Daniel, dari Bandung.”
“Mas Danielnya katanya tadi mau ke rumah temennya, mari masuk dulu, Mas, ditunggu di dalam.”
“Oh iya, Bu. Terimakasih.”
Wanita itupun membukakan pintu pagar rumah Daniel untukku. Sepertinya, wanita ini adalah bibi asuh Daniel.
Ya, Daniel pernah menceritakan bahwa dia punya seorang pembantu rumah tangga yang sangat dekat dengannya. Sebab, semasa kecilnya, pembantunya tersebut yang mengasuhnya dengan penuh kasih sayang.
Tapi bukan berarti ibunya tidak memberi kasih sayang, hanya saja karena kedua orang tuanya bekerja, keseharian Daniel semasa kecil banyak dihabiskan bersama pembantunya tersebut. Nama pembantunya tersebut Bi Asih.
“Ibu, Bi Asih ya?”
“Loh, kok tahu nama saya, Mas?”
“Iya, si Daniel suka cerita soal Bibi.”
“Oalah ... Mas Daniel itu loh, kok aku dicerita-ceritain segala.”
“Hahaha nggak apa kan, malah terkenal, Bi.”
“Hahaha ... kayak artis aja terkenal. Ya sudah, duduk dulu Mas. Bibi buatin minum dulu.”
“Wah ... gak usah repot-repot, Bi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Untuk Sahabatku
General Fiction❌Cerita repost bertema gay ❌Writer : Stephan Frans ❌Homophobic Diharap Menjauh