Tag 13. My Camp

4.9K 253 4
                                    

Sudah lama aku tidak merasakan situasi seperti ini. Kami satu angkatan beramai-ramai di dalam bak belakang truk. Truk yang menjadi alat transportasi kami dari kampus menuju lokasi camp kami yang terletak di Ranca Upas. Panasnya hawa di dalam truk tentu saja dapat kami rasakan.

Dalam satu truk ini mungkin ada sekitar 40 orang yang menyumbangkan karbondioksida yang pastinya menambah pengapnya udara di bak tempat kami berada.

Namun itu semua hilang, bersama ramainya suasana di dalam sini. Sepanjang perjalanan kami memainkan beberapa game kecil untuk terus menghidupkan suasana.

Mulai dari truth or dare hingga permainan UNO yang menjadi menu utama perjalanan kami. Walaupun tidak dikatakan tapi akubisa merasakan bagaimana semua teman-temanku begitu antusias menyambut camp kami hari ini.

Aku yang sedari tadi terhanyut dalam ramainya situasi ini mendadak tersadar. Tersadar bahwa sejak tadi kami berangkat bersama, Daniel ternyata hanya duduk termenung di bangkunya. Bangku bak truk yang posisinya paling dekat dengan bukaan bak yang ada di belakang. Ia hanya duduk termenung melihat ke arah luar truk.

Akhirnya, aku pun menggerakkan badanku untuk mengambil posisi duduk di sebelah Daniel. Kebetulan bangkunya memang agak kosong karena sebagian besar teman-temanku duduk di bawah untuk bermain kartu.

“Woi!” dengan sedikit tenaga aku menepuk pundak Daniel yang nampak sedang melamun.“Ngelamun aja sih, mikirin apaan?”

“Ah, elo ngagetin gue aja, Jo. Nggak kok, gue nggak ngelamun. Lagi menikmati indahnya pemandangan aja.”

“Oh gitu. Hmmm ... tapi emang lo nggak tertarik buat gabung sama yang lain. Lagi meriah banget loh suasananya.”

“Lo sendiri kenapa malah kesini, padahal suasananya kan lagi meriah?”

“Ah, elo mah, gak kreatif. Masa lo malah balik nanya gue.”

“Hehehe .... iya deh, gue ganti pertanyaannya. Kenapa lo kesini tiba-tiba?”

“Dasar. Ya buat nemenin elo lah. Masa sahabatnya duduk termenung gini gue malah asik main-main.”

“Hehehe ...”

Aku dan Daniel pun sejenak berpandangan dan tersenyum.

“Jo?”

“Iya, Dan. Kenapa?”

“Kenapa ya, kita bisa bersahabat deket?”

“Kok elo nanyanya aneh, emang lo nyesel sahabatan sama gue?”

“Ya nggak lah, tapi gue kepikiran aja tiba-tiba. Soalnya, gue bukan orang yang gampang deket sama orang lain. Tapi kenapa ya, kalo sama lo gue bisa deket.”

“Mungkin karena kita punya hobi yang sama, sifat kita juga mirip, dan kita sekelas, hehe ...” Jawaban spontan yang keluar dari mulutku tanpa banyak berpikir.

“Hehehe ... bener juga ya.“

Sejenak kami terdiam lagi. Entah kenapa aku bisa merasakan ada yang sedang Daniel pikirkan. Tapi aku sendiri tidak tahu apa yang sedang menjadi pikirannya sekarang ini.

“Dan, lo lagi banyak pikiran ya?”

“Mmmm ...”

Sejenak dia hanya tersenyum manis kepadaku.

“Nggak kok, Jonathan,” katanya tiba-tiba sambil mengacak-acak rambutku.

“Eh, kalo menurut lo sendiri, kira-kira kenapa kita bisa sahabatan?”

“Hehehe ... lo juga sama aja nggak kreatif kayak gue.”

Sejenak dia tersenyum dan kemudian mengarahkan pandangannya ke luar truk, berlawanan dengan arah dimana aku duduk sekarang.

Hati Untuk SahabatkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang