Prolog

7.6K 526 321
                                    

"Aku mau kita putus."

Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir pacarku.

"Kamu nggak lagi bercanda 'kan?"

"Aku nggak bercanda, Iz. Aku mau kita putus!"

"Kenapa?"

Ya, kenapa? Tidak ada angin dan tidak ada hujan. Tiba-tiba Arka minta putus padaku.

Aku tidak tahu harus bereaksi apa saat ini. Yang jelas, aku hanya diam dan menunggu jawaban dari Arka. Tidak tahu harus marah, sedih atau pun kecewa.

Arka terdiam sesaat. "Aku harus menikahi Nea. Dia hamil," jelas Arka.

Berengsek!

Sekarang jelas. Aku harus marah!

Benar kata mereka, bahwa cowok di dunia ini cuma ada dua macam. Kalau nggak berengsek, ya homo. Dan Arka termasuk yang pertama, berengsek!

"Apa kamu bilang? Nea hamil?" Aku menganga dibuatnya.

Oh... ternyata ada pagar makan tanaman. Pacar teman sendiri dia embat. Nea sahabatku. Dan mereka tega bermain di belakangku.

"Aku khilaf, Iz." Arka tertunduk lesu. Ada penyesalan dari nada bicaranya. Tapi maaf, aku sama sekali tidak tergugah untuk simpati padanya.

Bego! Mana ada bikin cewek hamil dengan khilaf. Yang ada dia keenakan. Dia pikir bisa membodohiku? Cih..., nggak bisa!

"Khilaf atau keenakan?" Aku bertanya dengan sinis.

"Keduanya mungkin," ujarnya tak yakin.

See, mana ada yang begituan khilaf. Cuma cewek bodoh saja yang percaya. Dan sekali maaf, aku bukan cewek bodoh!

Senyum sinis tercetak di bibirku. "Baiklah, kita putus."

Wajah Arka terlihat kecewa mendengar jawabanku. "Kamu nggak papa, Iz? Aku minta maaf," ucapnya sambil meraih genggaman tanganku.

"Aku ra popo," ujarku meniru gaya penyanyi dangdut.

"Maafin aku, Iz. Aku khilaf, bukan ini yang aku mau. Aku sayang sama kamu, tapi...." Suaranya tercekat, Arka menatapku sendu.

Tapi kamu harus nikahin Nea? Begitu? Dia bilang sayang tapi bikin bunting cewek lain. Apa itu yang namanya sayang? Jika Arka memang menyayangiku, dia tidak akan tega menduakanku.

"Kamu nggak perlu minta maaf. Cukup adik kecilmu aja yang minta maaf." ujarku ambigu.

Arka mengernyit, menatapku bingung. Aku melepaskan tangan yang digenggam erat olehnya. Dia sedikit tidak rela saat aku berusaha menarik tanganku.

Cukup sudah, kita akhiri saja. Bangkit berdiri, dan untuk yang terakhir kali aku menatap wajah laki-laki yang telah menemani hari-hariku selama ini. Kuraih cangkir kopi yang ada di meja dan tanpa rasa iba, aku menyiramkannya pada kemaluan Arka.

Byuurrr....

"Aaaarghh..., Izna!"

Arka memekik saat kopi panas mengenai kemaluannya yang tertutup oleh celana jeans miliknya. Wajahnya memerah, antara rasa sakit dan malu. Para pengunjung kafe menatap kami dengan berbagai ekspresi.

"Anggap aja itu hadiah pernikahan dari aku buat kamu. Semoga kalian hidup bahagia."

Aku baik bukan? Sudah dicampakkan tapi mendoakan kebaikan. Mendoakan kebaikan buat orang lain itu perlu. Mommy mengajarkan aku untuk tidak berdoa yang buruk untuk orang lain. Karena doa itu akan jadi bumerang buat yang mendoakan. Dengan mendoakan yang baik, maka kebaikan itu akan ada buat diri kita.

Kutinggalkan Arka yang tengah menahan malu. Puas rasanya bisa memberi dia pelajaran. Dengan mengabaikan tatapan bertanya dari para pengunjung kafe, aku berjalan keluar.

Aku tidak akan menangisi kandasnya hubunganku dengan Arka. Justru aku bersyukur, lantaran tahu bahwa dia bukan cowok yang baik untukku. Dan dia tidak pantas untuk ditangisi, hanya buang waktu dan tenaga.

Cowok seperti Arka itu, di otaknya cuma ada lubang dan kenikmatan. Jadi, berpisah dengannya bukan masalah besar.

Hidup itu sederhana, jadi jangan dibuat rumit. Putus cinta tidak akan membuat hidup kita berakhir. Aku hanya perlu menggantinya dengan cinta yang baru. Semudah itu!

To be continue.

IZNA'S Fake BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang