Yhara duduk termenung menghadap jendela kamarnya. Pikirannya berkecamuk, intinya ia sedang ingin dipeluk seseorang sekarang, siapaun itu.
Beberapa jam yang lalu dirinya sudah resmi dilamar oleh Jovan, sebenarnya agak kaget juga, karena Jovan benar-benar menepati perkataannya. Padahal Yhara sendiri tidak telalu berharap banyak. Oh ayolah, realistis saja, mana ada lelaki yang rela mengorbankan masa depannya hanya untuk membantu seorang Yhara yang notabene nya manusia biasa, cuma Jovan. Entah cowok itu sadar atau tidak dengan keputusannya.
Yhara sih senang-senang saja.
Tapi bukan itu yang menjadi permasalahannya sekarang, Yhara malah memikirkan sikap papanya saat tadi itu dengan gamblang menerima lamaran orang tua Jovan. Sempat terbesit dihati Yhara, bahwa papanya setidaknya akan menanyakan keputusannya, tapi lagi-lagi ia harus menelan kekecewaannya, ketika papanya langsung menyetujui bahkan tanpa mau repot-repot mendengar jawaban Yhara.
Banyak sekali pertanyaan yang berseliweran di benaknya.
Apakah dirinya setidak berhaga itu dimata papanya?
Apa benar adanya kalau memang dari dulu papanya itu tidak pernah menyanginya?
Meskipun sudah tahu jawabannya, namun tetap saja Yhara merasa sesak.
Telpon dari Ega mengembalikan kesadaran Yhara, ia langsung mengangkat panggilan dari Ega pada dering kedua."Halo Ga." Sapa Yhara dengan suara serak, air matanya bahkan meluruh bahkan sebelum ia sempat menceritakan keluh kesahnya pada Ega.
Beruntung Ega langsung paham, jadi alih-alih nyerocos seperti biasa, Ega memilih untuk menjadi pendengar saja kali ini, ia tidak ingin membantah apapun yang akan Yhara ceritakan.
"Bicaralah, gue bakalan jadi pendengar yang baik." Kata Rha di seberang telepon.
Yhara menarik napasnya dalam-dalam dan panjang, lalu menyempatkan untuk sekedar menghapus sisa air mata yang sedari tadi terus berjatuhan. "Gue kangen papa, gue kangen sama mama juga. Gue pengen diperhatiin, pengen dapet kasih sayang mereka. Apa itu termasuk permintaan yang berlebihan? Kenapa mereka harus mempertahankan gue dulu, kenapa mereka membiarkan gue hidup? Kenapa mereka nggak bunuh gue aja saat tahu gue akan lahir diantara mereka? Itu lebih baik dari pada di telantarkan kayak gini." Yhara sudah tidak bisa mengontrol emosinya saat ini. Semuanya mengalir begitu saja.
"Gue iri sama orang yang lebih beruntung dari gue. Dosa nggak sih kalau gue ngedoain jelek? Biar mereka-mereka juga ngerasain aoa yang selama ini gue rasain. Sakit banget Ga."
"Ga, elo masih di sana?"
"Iya." Ega tidak tahu apakah saat ini Yhara dalam keadaan sadar saat bicara panjang lebar seperti tadi.
"Elo mau tukeran nasib nggak sama gue? Katanya kita sahabatan? Mau ya?"
Lalu terdengar suara kekehan Yhara, miris batin Ega mengiba.
Diseberang sana, Ega bahkan juga sudah tidak mampu membendung air matanya lagi, ia seolah ikut merasakan kesakitan yang dialami Yhara. Ega menutup mulutnya, agar tangisannya tidak terdengar, sungguh cerita Yhara terdengar begitu memilukan.
"Tadi Jovan sama keluarganya kesini buat ngelamar gue, lo tahu nggak kalau gue seneng banget? Dulu kan si Jovan anti banget sama gue, eh tiba-tiba sekarang malah datang ngelamar gue. Lucu banget tahunggak sih, haha." Yhara masih belum berniat menyudahi curhatnya.
"Elo tahu Ga, tadi papa dengan gamblangnya langsung setuju, bahkan nggak minta pendapat gue. Apa gue seenggak pantas itu berada diantara keluarga papa? Kenapa gue harus semenyedihkan ini sih Ga, kenapa?" Kali ini Ega mendengar Yhara mulai meraung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cherish [END]
General FictionYhara dan Jovan itu simbiosis mutualisme, itu saja. Lalu apa yang akan terjadi, saat tiba-tiba Yhara malah mengajukan proposal nikah untuk Jovan? Padahal mereka berdua ini masih anak kemaren sore. Copyright © 2017 by alfaa.