Tujuhbelas

20 2 0
                                    

Mimpi buruk.
Yup, kalimat yang keluar dari mulut Aza tadi adalah mimpi buruknya Rifan.

Gimana kalau Aza beneran mau pergi selamanya gara gara masalah ini? Ini terlalu berlebihan, tapi kalau dia pergi karna Mario?

"Rifan!"
"Kenapa?"
"Belom tidur juga? Bener kan dugaan Mama kamu itu belum tidur. Cepet tidur udah mau jam satu"

Bawel
Hanya jawaban itu yang Rifan berikan ke Mamanya tetapi dalam hati.
---

5 menit,
10 menit,
15 menit, bel pun berbunyi.

Dan Rifan masih berdiri di pagar sekolah menunggu Aza datang.
"Hei nak udah bel ini, kamu gamau masuk? Pagarnya mau ditutup"
"Tunggu dulu pak"
"Tugas saya banyak, dan kalau saya harus menunggu kamu, tugas saya yang lain bagaimana?"
"Sebentar pak, lima menit lagi"
"Tidak ada penawaran lagi ya, lima menit aja"

Saat detik terakhir menuju 5 menit, mobil sedan berwarna putih dengan sticker berwarna hitam datang. Yup, itu adalah Aza. Ia datang dengan menyetir mobil sendiri, tanpa Bunda.

"Sampe juga, kalau gue masuk ke kelas mungkin pagernya udah ditutup"
"Berisik ah, kalo gak ikhlas nunggu masuk aja juga bisa. Lagipula gue gak ngarepin lu nunggu disitu ko"
"Pelajaran bu Ratna, guru killer di sekolah ini. Emang lu berani ngadepin dia sendirian? Dia masuk kelas aja lu takut"
"Apa gue pernah nyuruh lu harus nemenin gue pas dimarahin bu Ratna?"
"Yauda terserah lu. Intinya tadi gue udah nungguin ya, sekarang mau lu gimana terserah", Rifan jalan meninggalkan Aza di koridor.

Pelajaran bu Ratna sudah dimulai, dan Rifan bersama Aza datang telat. Bu Ratna adalah guru matematika paling killer di sekolah mereka. Jika ada murid yang terlambat saat pelajarannya ia akan menghukum murid itu.

"Kenapa kalian baru datang? Biasanya juga kalian paling awal datang"
"Tadi macet bu"
"Macet pernah buat salah apa sih ke kalian? Sampe sampe kalian telat dan nyalahin macet. Udah, sekarang berdiri di tengah lapangan sampai jam istirahat, dengan tangan diatas dan kaki kanan diangkat"
"Iya bu", jawab Rifan yang meninggalkan kelasnya diikuti dengan Aza.

Perintah itu mereka laksanakan tanpa membantah. Berdiri dengan satu kaki dan tangan yang diangkat.

Hal itu cukup membuat mereka lelah, dan juga malu karna dilihat oleh banyak orang.

"Kenapa tadi telat?", tanya Rifan dengan suara ketus.
"Suka suka gue lah, kalau lu nyesel nungguin gue tadi gausah nungguin lagi, gue juga gak minta lu tungguin"
"Orang ya ditolongin tu bilang makasih"
"Makasih Rifan.", Aza memberikan penekanan pada akhir kalimatnya.

Keheningan kembali tiba, sudah tiga jam mereka melakukan itu dan tanpa melanggar perintah. Sekarang matahari semakin tinggi, menyinari seluruh lapangan dan juga bumi. Panasnya pun menyelimuti tubuh.

Rifan yang sejak semalam belum makan, dan semalam juga telat tidur itu sekarang merasakan tubuh yang lemas. Ia memang bukan laki-laki yang lemah, maka ia menahan tubuhnya itu sekuat tenaganya.

"Masih marah?", tanya kembali Rifan untuk menghilangkan keheningan.
"Pikir aja sendiri, punya otak kan"

Baru saja 5 menit setelah Aza menjawab pertanyaan Rifan. Seorang laki-laki bertubuh tinggi dan tegap, yang sedang berdiri di sampingnya. Laki-laki yang ia sayangi melebihin teman itu terjatuh di bawah terik matahari, di atas aspal lapangan.

Semarah marahnya Aza kepada seseorang, tapi jika orang itu sedang kesusahan dan membutuhkan pertolongannya. Ia tidak lagi mementingkan amarahnya melainkan orang itu.

Otak sigap yang Aza miliki, membuat dirinya segera meminta pertolongan kepada beberapa siswa yang sedang berjalan di koridor menuju perpustakaan.

Mereka adalah Yasmin dan Farell.

"Rifan kenapa? Ko bisa jatoh? Dan kenapan kalian disini?", cewek itu memang dasarnya banyak bicara, keadaan darurat saja mereka masih bisa bicara banyak.
"Tolong dulu,Yasmin", kata Farell yang membantu mengangkat Rifan.

Berat badan Farell yang lebih berat dari Rifan membantu nya mempermudah mengangkat Rifan.
---

"Gue bisa pulang sendiri fan!"
"Gimana bisa? Ban mobil lu tiba tiba bocor"
"Masih ada kendaraan umum, gue bukan cewek yang selalu mau naik kendaraan mewah, gue juga bukan cewek manja yang minta dianter jemput"
"Tapi lu cewek spesial"

Ketiga kalinya Aza menghentikan langkahnya. Saat itu pula Rifan berhenti. Entah apa yang telah ia ucapkan kepada Aza, itu bukanlah dirinya yang bicara melainkan, hatinya.

"Cepet masuk mobil biar nanti orang bengkel yang bawa mobil lu"
"Gak"
"Pilih gue anterin lu atau gue ikut lu naik kendaraan umum?"

Di fikir Aza, daripada mereka bertengkar di tempat umum lebih baik di mobil Rifan. Sebenarnya pertengkaran mereka sudah selesai, tetapi Aza masih ingin sendiri.

Kesunyian selalu mengikuti mereka, di dalam mobil saat semalam dari danau kesunyian datang, dan tadi saat Rifan mulai sadar, ia mengatakan sesuatu yang membuat Aza terhenti dari langkahnya untuk meninggalkan ruangan itu dan keheningan pun datang.
---

"Jadi Via udah boleh pulang, nda?"
"Iya Aza, sekarang bisa gak kamu siapin kamarnya Via. Bunda lagi dijalan dari toko ke rumah sakit"
"Siap nda, tapi kayaknya Rifa gak bakal dateng deh"
"Kalian lagi marahan kan, Bunda tau"
"Ko bisa tau?"
"Kamu gak perlu tau dari siapa, dan Bunda gak maksa buat kamu ceritain"
"Iya iya"

Aza memutuskan sambungan telfon dari Bundanya. Dan beranjak dari duduknya menuju kamar Via.

Kamar yang benar-benar memberikan kesan manis, lembut, hangat itu terdapat di dalam kamar Via. Jika kamar itu milik Aza mungkin dindingnya sudah penuh dengan lukisan tak berguna dari Aza.

"Jadi Via udah ada yang mau donorin nda?"
"Belum ada, tapi kondisi nya udah membaik. Mungkin dua atau tiga hari Via baru boleh masuk sekolah"
"Bunda..", Aza berpindah tempat yang tadinya di depan kakar Via menjadi di dalam kamar Aza, dan Bunda mengikutinya.
"Ada apa?"
"Kali ini aja, Aza mohon. Izin in Aza buat donorin ke Via"
"Gaada kalimat iya untuk itu"
"Tapi, Via itu anak baik nda, dia gak pernah buat salah apapun, dia masih polos, dan gak seharusnya dia dapetin ini"
"Kamu adalah anak yang terlalu polos, dan anak yang terlalu baik", Bunda meninggalkan Aza sendirian di kamarnya, membiarkan angin menghapus pikiran buruknya.

"Via, apa kabar? Maaf ya ka Aza baru bisa temuin kamu sekarang, lagi banyak masalah"
"Baik ko ka, ada masalah apa ka?"
"Bukan masalah Via, ini soal Mario"
"Oh ya ka, Via boleh tanya?"
"Apa? Bukan soal Rifan kan? Ka Aza gak pernah buka hati untuk Rifan ko, kita sayang sebagai sahabat gak lebih"
"Bukan itu ka, Via mau tanya dan ka Aza jawab jujur"
"Apa?"
"Sebenernya penyakit Via itu apa? Kenapa Bunda, Ayah, Ka Aza selalu nutupin ini, Via bukan anak kecil lagi"
"Via emang bukan anak kecil lagi, tapi Via masih belum boleh dapat jawaban dari pertanyaan itu"
"Ka Aza adalah orang yang paling Via percaya, ka Aza bisa kasih tau Via dan nutupin ini dari Bunda dan Ayah, Via juga gak akan bilang mereka"

Aza membutuhkan waktu untuk menjawab itu, apakah mulut ia yang menjawab? Atau membiarkan waktu yang menjawab?

loverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang