Enambelas

10 3 1
                                    

Bunyi pintu yang tadinya dikunci dan telah dibuka terdengar sampai luar. Rifan dengan cepat segera membuka pintu itu, dan masuk kedalam kamar Aza.

Yang ia dapati adalah seorang perempuan, berambut sebahu yang kini telah tumbuh beberapa centimeter dari bulan lalu. Ia sedang duduk menghadap arah yang berlawanan dari pintu dengan tubuh yang ditutupi selimut.

Hentakan kaki yang semakin lama semakin dekat dengan perempuan itu telah diketahui bahwa ia adalah Rifan. Sekarang jarak mereka hanya hitungan centimeter, dan dari jarak itu terdengar isak tangis lembut dari perempuan itu.

Aza menangis.
Yup, seseorang yang Rifan sayangi, lindungi, dan ia telah anggap lebih dari teman itu menangis.

Ini pertama kalinya, dia menangis karna dirinya bukan karna orang lain. Dan ini adalah rasa bersalah pertama kali yang Rifan rasakan kepada dia.

Tak ada siapa pun di ruangan itu selain dirinya dan Rifan, lelaki berhati baik.

Sentuhan lembut mengusap air mata, Aza rasakan dari pipinya yang semakin berwarna merah seperti kepiting bakar.

"Udah jangan nangis, gue minta maaf. Kalo nangis terus pipi lu mau jadi kepiting bakar?"
"Gue lagi mau sendiri", jawaban ketus yang tak biasa Rifan dengar dari Aza dan ini pertama kalinya pula ia merasakan kalimat ketus dari seseorang yang disayanginya.
"Kalau gue masih mau disini gimana?"
"Gue yang pergi atau lu?"
"Maaf ya za gue gabisa nurutin permintaan lu"
"Oke kalo gitu gue yang pergi", Aza sudah beranjak dari duduknya untuk segera pergi tetapi seseorang menahan tangannya lalu menariknya membuat Aza kembali duduk seperti tadi.

"Gue udah buat lu nangis, gue udah buat lu kayak gini, terus sekarang gue pergi gitu aja? Gak akan, gue bukan orang yang kayak gitu"
"Tapi fan-"
"Gue minta maaf, gue sadar kalimat tadi bikin lu begini. Tapi please jangan nangis kayak gitu, lu jadi keliatan lemah"
"Buat apa minta maaf? Gaada yang perlu dimaafin"
"Ada"
"Sekarang udah malem, besok kita harus sekolah, mending lu pulang nanti Mama marah kalau kemaleman"

Aza telah membuka pintu kamarnya dengan lebar menandakan 'silahkan keluar Rifan'. Rifan keluar dengan hati yang campur aduk, ia melihat di akhir hari itu Aza menangis.

Menangis karna dirinya.
---

Begadang,,
Bukanlah hal yang menjadi kebiasaan Rifan, tetapi bukan pula menjadi hal yang langka bagi Rifan.

Malam ini ia masih belum mengantuk, padahal ia sudah berkali kali mencoba tidur tetapi hasilnya nihil.

Yang ada dipikirannya adalah Aza, Aza, dan Aza.

Kenapa Aza nangis? Kalimat tadi gue sadar kalau itu bikin dia nangis, tapi apa alasannya? Kalau dia cerita ke gue, pasti gak bakal kayak gini. Maafin gue za, gue gatau kalau itu bakal bikin lu sedih.

Sudah berkali kali Rifan mengucapkan kalimat maaf kepada Aza dan malam ini adalah kalimat maaf terakhir di hari itu, hari kedua kalinya persahabatan mereka berantakan.

Rifan tertidur setelah mencoba berkali kali untuk bisa tidur. Ia masih memikirkan Aza, apa yang dilakukannya di rumah dengan keadaan menangis seperti yang tadi Rifan lihat.

Rifan ingin menemani Aza dan mendengarkan cerita dari Aza, tetapi keadaan tidak menerimanya. Rifan takut terjadi sesuatu kepada Aza, dia adalah wanita nekat yang pernah Rifan temui.

Rifan ingat saat persahabatan mereka hampir hancur seperti ini, Rifan mengantarkan Aza pulang dengan paksa tetapi saat di tengah jalan Aza mencoba keluar dari mobil yang sedang melaju, andai saja Rifan tidak sigap untuk segera mengunci pintu mobilnya mungkin Aza sudah masuk rumah sakit saat itu.
---

Mario,,
Lo cowok yang gabisa ditebak.
Lo cowok yang selalu ngasih kejutan ke gue.
Dan lo cowok yang sudah beberapa kali buat gue nge-fly juga buat gue sedih.

Air mata terus mengalir, wajah yang semakin memerah, menangis di rumput pinggir danau itu.

Danau dekat rumah Aza adalah tempat yang paling sering Aza dan Rifan datangi, danau itu adalah tempat yang mengetahui segala curhatan dan masalah mereka.

"Rifan, lu kenapa buat gue inget sama Mario? Gue udah berusaha ngelupain itu sejenak, tapi kenapa lu ngundang itu untuk datang ke pikiran gue lagi? Kalau alasannya karna gue gak cerita, maaf gue gabisa cerita. Lagi pula gak semua hal harus gue ceritain ke lu kan?"

"Apa itu namanya sahabat? Bukannya sahabat itu adalah beberapa orang yang saling bercerita tanpa harus ada yang ditutup tutupi?"

Suara serak Rifan yang Aza sangat hafal terdengar di belakang Aza, dan ia benar adalah Rifan.

Dengan sweater abu-abu dan celana panjang Rifan datang ke danau itu.

"Buat apa kesini? Lu budeg ya? Tadi gue udah bilang, kalau gue mau sendiri"

"Ada masalah kalau gue dateng kesini? Ini tempat umum kan, semua orang boleh dateng"

Tak ada jawaban dari Aza. Aza mencoba menghapus air matanya lalu berdiri dan berjalan menjauhi Rifan tetapi tidak pergi meninggalkan danau itu.

"Lu mau gamasuk sekolah besok? Kasian Bunda lagi mikirin Via yang sakit terus lu mau nambahin beban mereka?", langkah Aza terhenti sama seperti tadi di rumahnya saat Rifan datang menjenguk Via.

"Bukan urusan lo", Rifan mendekati Ada dan memberikan jaket kepada Aza.

"Tapi ini masalah gue, sekarang lu pulang gue anter"

"Gamau", Aza semakin menjauh.

"Ada masalah apa? Cerita ke gue, gue itu sahabat lo. Andai lu cerita gue gak bakal ngomong kayak tadi. Mario lagi? Mario kenapa? Gue udah bilang dia cowok gak baik tapi lu masih ngarepin dia"

"Lu juga cowok gak baik. Cewek udah punya pacar masih di sukain"

"Emang gue salah suka sama cewek? Selagi gue gak berlebihan gak salah kan. Sekarang lu pilih cerita ke gue atau gue yang cari tau sendiri dari Mario"

Gue yakin, pasti kalau dia tau dari Mario dia bakal mukulin Mario.

Aza mencoba mengabaikan kalimat Rifan dan kembali berjalan entah kemana.

Rifan memang lelaki yang nekat sama seperti Aza. Ia menggendong Aza ke mobilnya dan membawa pulang Aza. Rifan berharap hal konyol tidak lagi Aza lakukan seperti saat itu.
---

Aza sudah di rumah dan Rifan sudah sampai di kamarnya.

Sebenarnya tadi Rifan hanya tertidur sekitar 15 menit. Ia sudah mengirim pesan dan juga menelfon Aza tetapi tidak ada jawaban. Ia menelepon Bunda dan Bunda bicara "tidak ada Aza di kamarnya".

Rifan berfikir tempat yang menjadi tempat paling sering mereka kunjungi selain kafe itu, dan danau itulah jawabannya.

Maka dari itu Rifan mengunjungi danau itu dan hasilnya benar.
---

"Rifan maafin gue ya, mungkin ini terakhir kalinya kita ketemu dan ngomong secara langsung", kalimat itu keluar dari mulut Aza kepada Rifan.

loverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang