Fia memarkir motor matic miliknya pada halaman parkir sebuah minimarket di pusat kota tempat tinggalnya, Malang.
Gadis yang malam ini mengenakan swater crop bergambar ice cream itu berjalan memasuki minimarket dengan mengangguk-anggukan kepala sesuai iringan music dari headphone yang menyumpal telinganya sejak di rumah tadi. Padahal, mamanya sudah seringkali berkata kalau saat berkendara di jalan tidak boleh menggunakan earphone.
"Coffee yang enak merek apa ya kira-kira?" ia bergumam, telunjuknya mengetuk-ngetuk dagunya seraya berpikir. "Ini enak kali, ya?" Ia mengambil salah satu coffee botolan dari dalam kulkas pendingin.
Saat membalikkan badannya, Fia memekik kaget melihat di belakangnya sudah berdiri seorang cowok jangkung dengan sweater tebal yang membungkus tubuhnya. Malam kalau malam memang dingin, sih.
Fia kira, dia menghalangi cowok itu membuka kulkas pendingin, makanya dia segera menyingkir. Namun tangannya malah dicekal dari belakang. "Siniin." Cowok itu mengambil sebotol coffee dari genggaman Fia lantas mengembalikannya kembali ke dalam kulkas.
"Kok dibalikin? Kan gue mau beli itu," tanya Fia antara bingung dan kesal. "Kenapa sih?"
Fia mendengus kesal ketika cowok itu malah meninggalkannya keluar minimarket tanpa mengucap sepatah katapun. "Sarap kali ya?" dengus Fia sambil kembali mengambil coffe yang tadi hendak dibelinya.
"Batu," dengus seseorang saat Fia baru saja keluar dari minimarket dan membuang struk ke dalam tempat sampah di depan pintu minimarket.
"Ngomong sama gue?" tanya Fia. Karena setelah diliriknya, hanya ada dirinya dan cowok ini yang saat ini ada di parkiran.
"Sama puntung rokok," ujar cowok itu dingin.
Fia mengangguk-angguk. "Oh," gumamnya, "kirain sama gue."
Cowok itu memutar tubuhnya menghadap Fia. "Sini lo," ujarnya dengan suara jutek.
Entah kenapa, Fia menurut saja duduk di kursi seberang cowok itu duduk. Ya, cowok sarap yang tiba-tiba mengembalikan coffe-nya ke dalam kulkas lagi.
"Apaan?" tanya Fia. Wajah Fia berubah seperti menahan pup saat membuka tutup botol coffee yang dibelinya sangat susah. "Eh, Mas, bu-"
"Gue bukan mas lo!" Hardik cowok itu sambil mendelik sangar.
"Ya ampun," Fia berujar pelan. "Galak bener. Gue manggil Mas doang, bukan Om. Santai dong." Cowok itu kelihatannya tidak mendengarkan Fia. "Anu deh, Beb, minta tolong bukain tutup botolnya dong." Fia menyodorkan botol coffe miliknya kepada cowok itu dengan cengiran lebar. Melihat ekspresi nggak enak cowok itu setelah mendengar ucapannya, Fia segera berkata, "Abisan, kan gue nggak tau nama lo."
"Radja." Cowok itu mengulurkan tangannya ke atas meja berbentuk bundar yang sedari tadi membatasi dirinya dengan Fia.
"Raja?"
"Pake D," ralatnya cepat.
Fia mengangguk. "Oh, Rajad? Atau Rajud? Rasjid? Risjad?" Tanya Fia bertubi-tubi.
Radja mendengus keras. "Cerewet banget," kesalnya. "Nama gue Radja. Bukan Raja ataupun Rajad atau apapun." Radja menekan kata Radja. "Lo kira gue rajutan apa?!"
"Sayang ya, gue bukan Radtu," ujar Fia sok sedih.
"Iya, harusnya nama lo Radtu. Soalnya lo batu banget."
"Gue manusia, tauuu! Bukan batu!"
"Bodo amat." Radja segera menyumpal telinganya dengan headphone yang ada di saku jaketnya. Kemudian, ia menyetel lagu Fall For You milik Secondhand Serenade dengan volume hampir maksimal.
Melihat itu, Fia mencebik kesal. "Dengerin lagu apa sih?" Fia mencabut paksa salah satu earphone dari telinga Radja dan menyumpalkan ke telinganya sendiri. Omong-omong, earphone nya sendiri sudah ia lepas tadi.
"Waaa, Fall For You!" Fia memekik sendiri. "The best thing about tonight's that we're not fighting," Fia ikut menyenandungkan lagu itu setelah intro music selesai.
"Lo suka?" Tanya Radja sekadar basa-basi.
"Iya, suka sama lo, hehe."
"Maksud gue lo suka la-"
"Iya, iya. Gue suka lagunya. Tau nggak, buat gue ngafalin lagu ini, nggak sampai sehari loh!" pamer Fia. "Abisan, nadanya gue suka, liriknya dalem, apalagi Amnesia punyanya 5SOS! Beh, mewek, mewek lo," Fia antusias. "Yang nyanyi semuanya suami gue, by the way."
"Lo murahan dong?" tanya Radja.
Fia mencebik. "Idih, kampret! Kan gue lagi fangirling-an!"
"Enak aja ngatain gue nggak tau artinya," Radja tak mau kalah. "Tentang seorang cowok yang ditinggal 'kan?"
Dengan cepat Fia membantah. "Salah!"
"Perasaan iya," gumam Radja. Kemudian, jarinya menekan aplikasi google pada ponselnya. "Taruhan, kalau gue bener, coffe-nya buat gue."
Sontak Fia yang awalnya sedang sibuk dengan ponselnya melotot. "Modus dapet gratisan, lo. Beli sendiri, napa!"
"Bilang aja kalau takut."
"Apa sih? Kok lo nggak jela--" "Eh, dijeda dulu, ada telepon." Fia berjalan sedikit menjauh dari tempatnya dan Radja duduk lantas menggeser ikon telepon hijau ke kanan.
"Halo, iya, siapa ya?"
"Lo dimana, heh!" sentak orang di sebrang sana.
Fia segera menjauhkan layar ponselnya dan melihat ID Caller yang tertera disana. "Buset, dah, emak kos."
"Emak kos, emak kos! Nyokap lo nyariin tuh sampai marah-marah ke gua. Dikira gue nyulik pacarnya Mimi Peri kali, ya."
"Wih, doa lo ajib bener, jadi pengen gue sumpahin biar lo jadi pacar Dijjah Yellow."
Dari kursinya, Radja hanya bisa memandangi punggung gadis itu dan sesekali kaki Fia yang mencak-mencak sendiri. Kadang juga, gadis itu mengetukkan ponsel pada diniding, mungkin sedang kesal dengan sang penelpon.
Dan entah kenapa, Radja tersenyum melihatnya, ini langka. Kalau Terceira tahu, pasti gadis belasteran Portugis-Indo itu akan memotret Radja dengan berlebihannya, dan biasanya Radja hanya berkata: "Sialay."
Radja memang sangat jarang tersenyum. Jangankan tersenyum, berbicara saja kadang Radja suka mager. "Maaf, ya, gue pulang dulu. Bagongnya bawel," ujar Fia seraya menyambar sling bag berbentuk Minnie Mouse di atas meja.
"Bagong siapa?" Kenapa gue yang jadi kepo, sih? Biasanya juga bodoamat.
"Cieee, penasaran banget, apa banget?"
"B aja," balas Radja. "Udah sana pulang, dasar cerewet!"
"Nggak mau say 'night' atau apa gitu kek?" Radja hanya mengangkat bahunya tak acuh. "Ah elah, jahat bener." Sebelum Fia berjalan menuju motor matic miliknya, Radja menyambar coffe Fia dan meneguknya hingga habis.
"Coffe gueee! Kenapa lo abisin, Sarap!"
"Sekalian aja panggil gue Rematik," Radja cemberut menaikan bibir bawahnya. Yalord dia imut bat tau ga, Fia membatin. "Ini gue balikin," kata Radja memberikan kembali botol coffe Fia yang telah habis diminumnya. "Simpen aja, siapa tau berguna untuk Nusa dan Bangsa," sela Radja saat Fia hendak melemparnya ke dalam tempat sampah.
Akhirnya dia memasukkan botol mini itu ke dalam jok motornya. "Oke dah, see you!"
Dan ketika Fia hanya terlihat sebagai titik hitam dalam kegelapan malam, disana Radja merasa kembali hampa. Seolah kenyataan itu harus kembali ia terima, kenyataan bahwa dia memang selalu sendirian.
🌌🌌🌌
21 Maret 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pythagoras
Teen Fiction"Semua orang tau kok, hidup itu selalu tentang pilihan. Kamu tinggal pilih mana yang sesuai dengan hati kamu. Ya atau tidak, aku atau dia. Sesederhana itu." Ini tentang Fia dan Radja. Dua remaja tanpa hubungan apa-apa yang dipertemukan ole...