"Aduh, nggak tau lagi deh gue. Jadi anak kelas XII itu repot banget." Sesampainya di kamar miliknya, Fia langsung menutup pintu kamarnya dan segera merebahkan tubuhnya yang ia rasa remuk itu ke atas ranjang empuknya. "Ini namanya surga."
Sekarang sudah pukul lima sore dan dia belum sempat makan siang. Harusnya ia bisa di rumah pukul setengah dua tadi. Tapi karena ada try out khusus kelas XII, jam pulangnya harus mundur sampai jam empat. Dan tiga dua puluh menit dihabiskan hanya untuk memesan Grab.
Sebenarnya bisa saja Fia menelepon Bunda untuk menjemputnya. Tapi sialnya, ponselnya kehabisan daya. Alhasil, Fia terpaksa memesan Grab dengan meminjam ponsel temannya. Ya, salah Fia juga tidak menghapal nomor telepon Bunda.
"Oh iya, carghe hape gue di mana ya?" Fia beranjak menuju meja belajarnya.
Saat Fia baru saja menghidupkan ponselnya, notifikasi dari beberapa sosial media yang di milikinya membuat gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu mendengus sebal. "Followers gue cuma lima ribu aja ramenya segini, gimana yang punya followers di atas satu juta ya?" Fia bergumam saat melihat notifikasi dari Instagram-lah yang paling banyak setelah Line dan WhatsApp.
Senyum di bibir Fia mengembang saat melihat ada notifikasi line dari Radja. Ia segera membuka dan membacanya.
Radja:
Fia, besok pulang sekolah jalan yuk
(14:42)Fia kok nggak di read
(14:44)Kamu ngambek ya?
Sini peluk
(14:45)Yha, belum di baca. Sakit akutu
(14:46)Fia:
Eh, mbb, Ja. Batre gue low tadi, gue baru pulang dr sekolah juga nih habis try out
Aduh, besok kayaknya gue ga bisa deh, kudu les akutuu. Lelah
Engga ngambek, dasar lo ><
Sakit apa? Sini gue obatin pake hati
Idih najisin ya gue? Wqwq maaf. Lagi stress sama kls XII
(17:15)
Tanpa menunggu balasan dari Radja, Fia berlari kecil keluar kamar menuju dapur. Cacing di perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Di dapur, Bunda sedang menyiapkan makan malam.
"Kenapa, Fi?"
"Lapeeer, Bun. Ada yang udah jadi nggak?" Fia memegangi perutnya.
"Nasi padang itu ada di meja makan tadi Bunda delivery order. Tapi udah Bunda makan setengahnya. Nggak pa-pa?"
Dengan semangat '45, Fia menarik kursi meja makan dan membuka tudung saji. Perutnya akan senang, apalagi ini nasi padang kesukaannya. "Bun, ini aku habisin nggak pa-pa? Bunda udah kan?" Bunda menoleh dan mengangguk. Fia langsung menyantapnya. "Kapan-kapan bikin sambel ijo kayak gini dong, Bun." Fia menyendok sambal yang ada di atas nasinya. "Enaaak!"
Bunda menggeleng pelan sambil tersenyum melihat tingkah Putrinya yang selalu terlihat kekanak-kanakan jika sudah bertemu makanan. "Iya, kapan-kapan kalau harga cabai udah turun ya."
"Yah, Bunda. Nggak bakal turun kali, harganya. Naik iya." Fia cemberut.
"Bunda bercanda, kali." Bunda mengikuti suara Fia. "Oh iya, nanti malam Ayah dateng."
"Eh buset—eeh, maaf Bun, kebablasan. Abisan, aku kaget, hehe. Ayah kok pulangnya ndadak?"
"Bunda sentil nih, kalo ngomong kayak gitu lagi."
"Ih jangan, dong, Bun," rengek Fia sambil membuat bungkus nasi padang yang isinya sudah ia habiskan tadi menjadi bola dan memasukannya ke tempat sampah. "Ayah kenapa pulang mendadak?" Fia mengulangi pertanyaannya.
"Ya, kebetulan Ayah minta cuti sebentar sama pemimpinnya dibolehkan."
Fia memutar keran cucian piring dan menggosok tangannya menggunakan sunlight. Kebiasaannya ketika malas mengambil sabun cuci tangan yang ada di wastafel belakang. "Emang, Ayah di rumah entar berapa hari, Bun?"
"Sekitar dua mingguan. Habis itu dikasih tugas lagi ke Riau."
"Laah, kok tambah jauh sih?"
"Namanya juga penugasan, Fia. Nggak bisa milih mau yang deket-deket sini. Oh iya, kamu mandi sama bersihin kamar, gih. Kena omel Ayah nanti."
Ayah Fia memang tipikal yang disiplin dan bersihan. Dalam intian, kalau ada ruangan yang kotor, orang yang ada di sekitar ruangan itu yang bakal kena omel dan disuruh membersihkan kotorannya.
Fia mengambil sapu di dekat dapur lalu membawanya ke lantai atas sambil bersenandung pelan. "Bun, aku pinjam, yak!"
🔹🔹🔹
Malam harinya sekitar pukul setengah delapan malam, suara klakson mobil yang sudah lama tak didengar oleh telinga Fia datang menyambut.
Fia yang berada di depan tv langusng melompat kegiragan sambil membuka pintu utama. "Ayaaah!" Serunya.
Sosok tegap dengan masih menggunakan seragam lengkap itu tersenyum pada putrinya. "Kamu kangen Ayah, nggak?"
"Yaa kangen, dong. Ayah gimana? Apa kabar? Ketemu orang nggak pake helm ya? Disana tinggal di mana?" Seperti biasanya jika Ayah baru pulang dari dinas, Fia akan memberondongi pertanyaan pada Ayahnya.
"Ayah sehat. Oh iya, Bunda mana?"
"Di ruang makan, Yah. Aku sama Bunda nungguin Ayah biar bisa makan malam bareng.
"Loh, tadi Ayah udah SMS Bunda biar kalian makan duluan. Laper ya nunggu Ayah? Udah jam setengah delapan gini. Ayo, deh, buruan biar kamu sama Bunda nggak laper.
Sampai di ruang makan, Ayah langsung memeluk erat Bunda dan melupakan sejenak kalau ada Fia di sana. "Eheem," Fia berdeham membuat kedua orang tuanya saling melepas pelukan sambil tertawa kecil.
"Kapan deh, aku bisa dipeluk cowok kayak gitu," ujar Fia bercanda sambil cengengesan.
Dengan posesif, Ayahnya merangkul Fia. "Nggak boleh main pelukan sama cowok. Kamu masih punya Ayah. Nanti kalau ketahuan ada yang meluk kamu, Ayah borgol deh."
"Ih, jangan dong. Kasihan cowoknya. Lagian kan, Fia udah gede, Yah. Udah mau kuliah, hehe."
"Emang kamu udah punya cowok?" Tanya Ayah.
"Mmm, udah belom yaaa? Belom deh, kayaknya. Tapi ada sih yang lagi deket. Tapi ya gitu deh. Cowok sukanya gantungin cewek, jadinya nggak jelas deh," ujar Fia berujung curhat.
"Ayah sama Fia makan dulu, yuk!" Bunda sudah duduk di salah satu kursi makan dan menaruh nasi di atas piring Fia dan Ayah.
Saat menyantap Opor ayam serta sayur merah buatan Bunda, suasana ruang makan menjadi hening, hanya sesekali terdengar suara dentingan antara sendok dan piring sampai Ayah berdeham untuk membuka pembicaraan.
"Oh iya, tadi siang Kak Rani telepon Ayah. Katanya, kalau lagi nggak banyak jadwal dua bulan lagi dia mau pulang. Salam buat Bunda sama Fia." Gerakan tangan Fia yang sedari tadi memasukkan sendok ke dalam mulutnya terhenti. Mencerna ucapan Ayah.
Dua bulan lagi, kak Rani pulang?
"Kata kak Rani, dia sempat telepon kamu?" Ayah menatap Fia sekilas lalu melanjutkan kembali memakan makanannya.
"Aku ke kamar dulu ya? Besok ada harus pulang sore lagi. Mau istirahat. Dadaah."
Fia tidak tahu, ia harus senang atau marah.
🔹🔹🔹
23 Juli 2017

KAMU SEDANG MEMBACA
Pythagoras
Fiksi Remaja"Semua orang tau kok, hidup itu selalu tentang pilihan. Kamu tinggal pilih mana yang sesuai dengan hati kamu. Ya atau tidak, aku atau dia. Sesederhana itu." Ini tentang Fia dan Radja. Dua remaja tanpa hubungan apa-apa yang dipertemukan ole...