chapter 12::

145 28 0
                                    

"Nggak usah pikirin apa yang bakal terjadi nanti, Ja. Pikirin aja apa yang terjadi sekarang."


-Fia, Pythagoras

🔹🔹🔹

"Gue takut kehilangan untuk kedua kalinya." Radja menghela napasnya berat. Memandang wajah gadis di depannya lekat-lekat. "Walaupun lo bukan siapa-siapa gue," Radja menggantung kalimatnya. "Gue berharap lo nggak bakal ninggalin gue. Lo bisa janji?"

Tangan Fia menggenggam erat pembatas tangga. Mendadak merasa atmosfer di sekitar mereka berdua menyempit. Sesak yang ia rasakan.

Fia bukannya punya masa lalu yang buruk dihianati orang atau apa, justru dia takut dia yang nantinya akan ingkar. Karena Fia tahu, yang ditagih nantinya adalah janji. Dan janji adalah hutang. Tentunya harus ia bayar.

Ia tidak mau nantinya akan mengecewakan siapapun, apalagi Radja. Fia tidak mau. Karena sebenarnya, janji itu nggak semudah mengatakan iya atau tidak. Janji hanya bisa dilakukan oleh orang yang memang bisa menepatinya.

Fia, Radja bukan nembak lo. Dia cuma mau lo nggak pergi dan ninggalin dia. Dan lo tinggal menautkan kelingking lo sama dia, terus lo bilang janji. Udah. Sesederhana itu.

"Ja, gue nggak-"

"Nggak bisa janji?" Radja menebak. Gurat wajahnya menyuratkan sedikit kekecewaan. "Fi, dulu gue pernah ditinggal cewek. Dan itu karena sebelumnya gue nggak pernah nyuruh dia buat janji nggak ninggal gue. Gue terlambat waktu itu. Dan sekarang. Sebelum lo pergi gue mau lo janji biar lo ada kewajiban tetap di sini buat nepatin janji lo. Bilang aja gue egois, emang itu adanya. Gue cuma nggak mau nelen pil pahit buat kedua kalinya."

Fia tertegun untuk sejenak sebelum menjawab kalimat Radja yang sebenarnya ia bingung untuk menjawab apa. "Gue nggak bakal bikin lo nelen pil pahit lagi, Ja. Tapi gue juga nggak bisa janji sama lo. Yang jelas, selama ini gue sama lo selalu sama-sama, 'kan?" perlahan Radja mengangguk. "Nggak usah pikirin apa yang bakal terjadi nanti, Ja. Pikirin aja apa yang terjadi sekarang."

Kemudian seseorang yang sejak tadi memperhatikan keduanya dibalik dinding itu menggumam, "Semoga ini bukan firasat buruk." Lantas ia berjalan meninggalkan tempat itu.

🔹🔹🔹

Sekitar tiga puluh menit sebelum bel, Fia sudah berada di sekolah, lebih tepatnya di tepi lapangan basket. Kepalanya celingak-celinguk, mata menyipit ke arah deretan kelas X yang berada di seberang tempatnya duduk. Sampai bola berwarna oranye memantul ke arahnya. Fia mengangkat kepalanya untuk melihat asal bola itu datang.

Ia mendengus. "Kalau mau nyapa nggak usah pake bola emang nggak bisa?!" semprotnya pada Si pelempar. "Kalau kena gue emang lo mau tanggung jawab?!"

"Idih, sewot lo?" tanya orang yang sudah berdiri di hadapannya.

"Iya lah!" ujar Fia lalu menendang bola berwarna oranye itu keluar lapangan.

"Nggak usah bola gue juga yang jadi korban. Kesayangan gue itu." orang itu--Kresana--lalu berlari untuk memungut bola itu di tepi lapangan. Sekembalinya Kresna ke tempat Fia duduk, Kresna mengambil tempat di sebelah Fia, yang jelas, Fia segera memberi jarak.

"Cepet lo mau ngomong apa?" tanya Fia memusatkan obrolan mereka sesuai dengan yang diketik Kresna melalui pesan chat semalam. "Gue ada jam tambahan sepuluh menit lagi."

"Oke, to the point aja." Kresna menjeda ucapannya. "Gue nggak mau lo ketemu sama Radja lagi. Dengan alasan apapun itu. Dan yang paling penting, block semua kontak Radja yang lo punya. Gue nggak peduli. Atau kalau emang lo bandel, mau gue aja yang nge-block?"

PythagorasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang