Mata hazel milik Fia menatap lurus kertas yang tertempel pada mading seraya tangannya menempel pada kertas tersebut, mencari namanya. Setelah beberapa menit berdiri di depan mading dengan kerutan di dahi, dia menemukan namanya, di urutan ke-348 dari 370.
"Nilai mtk, ipa, bi sama bing gue jelek banget, anjir," Fia mendumel saat melihat nilai rata-rata try out pertamanya, 62 ke bawah . "Untung masih kelas G, bukan H."
Memang, Fia harus bersyukur karena nilainya masih berada di atas nilai Salsa, teman se-perbaperannya. Walaupun cuma lima angka di atas nilai Salsa, Fia terselamatkan tidak masuk ke kelas H yang artinya kelas anak-anak kurang pintar.
Tapi jangan bilang-bilang Salsa ya, Fia sempat melihat jawaban teman sebangkunya. Ya, katanya sih, kalau kesempatan itu jangan di sia-siakan, apalagi kesempatan emas seperti itu.
"Aelah, nilai mtk gue jelek bat, sih" Gadis di sebelah Fia yang juga sedang melihat nilai di mading mendumel. "Otak Jimin gue kenapa muncul pas try out, dah?" Fia melirik nama yang ditunjuk gadis itu, lantas melihat nilai yang tertera di kolom sebelahnya.
Buset dah, IPA 92,5 BI 88 BING 92 MTK 78, Fia membaca nilai gadis di sebelahnya dalam hati, lalu mulutnya melongo lebar, ini dia yang sableng apa gimana? 78 dia bilang jelek, terus nilai gue yang 45 itu apa? Bagus?
Fia sudah kelas XII, jadi, serentetan tes-try out-uji coba-serta ujian sudah berada di hadapan. "Padahal kita baru tahun depan UN-nya," runtuk Fia pada Salsa saat Bu Ningsih selaku kurikulum menjelaskan jadwal anak kelas XII waktu itu.
"Aloo, Bibeh!"
Fia hampir saja tersungkur saat seseorang tiba-tiba mendorongnya dari belakang. Siapa lagi kalau bukan Salsa. "Najis bahasa lo, Sal."
"Halah, bilang aja lo baper."
"Gue?" Fia mengangkat sebelah alisnya. "Baper gara-gara lo? Sorry ya, gue masih normal, nggak lesbi."
"Idih, yang bilang lo lesbi siapa, Oneng!"
"Auk dah, Sal." Fia melangkahkan kakinya menuju ruang bertuliskan 23, lalu memasukinya. Mencari meja dengan kertas bertuliskan nama dan nomor induknya
Derita anak kelas XII gini banget sih, batinnya menggerutu.
Ia melirik nama yang tertempel pada meja di sebelahnya. Nama yang sangat tidak asing lagi baginya. Selama hanpir empat bulan selama try out kelas XII, deskmate-nya adalah seseorang yang namanya sudah tertempel di meja sebelahnya ini, cowok dengan tingkat kecuekan yang melebihi 98%.
"Kepala suku beruang kutub" itu sebutan Fia untuk deskmate-nya. Suruh siapa jadi orang dingin banget. Sifatnya nggak jauh dari Radja sih, tapi mending Radja daripada ketua suku beruang kutub ini.
"Misi." Suara dingin itu menyadarkan Fia, cowok cuek bernama Kevin itu sudah berdiri di belakangnya. Tempat duduk Kevin berada bersebelahan dengan tembok.
Fia segera memiringkan tubuhnya, memberi ruang untuk Kevin lewat. Namun cowok itu sama sekali tidak bergerak. "Tuker," ujar Kevin.
Alis Fia terangkat satu. "Apanya?"
Kevin berdecak. "Gue disini, lo disana." Dengan telunjuknya, Kevin menunjuk bangkunya sendiri dan bangku Fia bergantian.
"Nggak bisa lah, mejanya 'kan udah urut sesuai nomor."
"Tinggal tuker meja aja," Kevin mendengus walau akhirnya tetap duduk di bangkunya. Disusul dengan Fia yang duduk di bagku sebelahnya. "Minggir," ujar Kevin membuat konsentrasi Fia dari buku di depannya buyar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pythagoras
أدب المراهقين"Semua orang tau kok, hidup itu selalu tentang pilihan. Kamu tinggal pilih mana yang sesuai dengan hati kamu. Ya atau tidak, aku atau dia. Sesederhana itu." Ini tentang Fia dan Radja. Dua remaja tanpa hubungan apa-apa yang dipertemukan ole...