chapter 7::

218 30 8
                                    

"Kalau tanya itu yang bener, sekiranya nggak masuk akal ya enggak usah ditanyakan,"

-Radja, Pythagoras

🔹🔹🔹

Bel masuk sekolah baru saja berbunyi tepat saat Radja menutup buku paket miliknya. Ia berjalan keluar perpustakaan setelah sebelumnya memberi salam pada Bu Indri-penjaga perpustakaan di sekolahnya yang berambut agak kribo.

Beberapa orang yang berpapasan dengan Radja di koridor hanya bisa menelan ludah ketika mereka menyapa Radja tanpa ada respon balasan barang menoleh sedikitpun yang diberi cowok itu. Mereka lupa kalau sedang menyapa Pangeran Es di sekolah mereka.

Di kelasnya, Radja duduk di barisan paling depan-barisan para anak rajin di kelas-bersama seorang cowok berambut cepak, Rekzy. Rekzy sudah menjadi sahabat Radja sejak awal mereka mos sampai sekarang. Walaupun sifat mereka sangat berlawanan. Rekzy sangat petakilan dan paling suka bolos pelajaran matik, suntuk alasannya. Alasan Rekzy senang hati duduk bersama Radja-di depan pula-nggak lain supaya ada yang bisa diconteki saat ulangan harian. Ya, sebenernya Radja juga orang yang asik kalau nggak jarang bicara.

Guru pengajar jam pertama masuk ke kelas bersamaan dengan suasana yang mendadak hening. Harusnya pagi ini yang mengajar pelajaran bahasa Inggris adalah bu Inggrid-guru super sabar di sekolah Radja. Namun karena bu Inggrid sedang melahirkan, hari ini sampai dua bulan ke depan bahasa Inggris akan diisi oleh bu Tanti. Guru galak juga guru paling cerewet yang Radja tahu. Dan juga menyebalkan...

"Karena bu Inggrid hari ini tidak bisa mengajar, saya yang akan menggantikan beliau. Sekarang, buka buku seri soal halaman 96, kerjakan bagian A, B, dan C. Dikumpulkan hari ini di meja saya." Tuh 'kan! Belum salam, belum doa pembuka, udah disuruh buka buku aja. Mana banyak banget soalnya. "Bagian C disuruh membuat speech bertema kenakalan remaja, ditulis di folio bergaris. Minimal satu halaman. Kurang dari itu saya kembalikan dan saya suruh membuat baru minimal 2 lembar folio," ujar Bu Tanti dengan sadisnya. Membuat kelas kembali gaduh.

"Bu!" Rekzy mengangkat tangannya. Radja melirik sekilas cowok itu, lalu mendengus.

"Iya, Mas yang jerawatan itu, mau tanya apa?"

Seisi kelas tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan bu Tanti yang kelewat menyindir Rekzy. Memang sih cowok itu punya banyak jerawat di wajahnya. Tapi dia selalu membela diri dengan berkata, "Berarti banyak yang ngomongin gue. Femes dong, gue."

"Buset dah, si Ibu kalau ngomong suka bener," gumam Rekzy. "Itu bu, kalau pidatonya bahas sex bebas nggak papa, 'kan?"

Semuanya melongo, termasuk Radja yang duduk di sebelahnya. "Kan kenakalan remaja juga, Bu," tambah Rekzy karena bu Tanti masih diam.

Radja menyikut lengan Rekzy yang ada di atas meja. "Kalau tanya itu yang bener, sekiranya nggak masuk akal ya enggak usah ditanyakan," tegurnya. Rekzy emang suka asal ceplos kalau bicara. Ngaco mulu kerjaannya.

"Loh, 'kan gue tanya doang, Ja. Apa salahnya sih?" Suara sok dramatis Rekzy lagi-lagi membuat tawa sekelas pecah. Kecuali Radja yang malah mendengus, dan bu Tanti yang berkacak pinggang. Rekzy meringis. "Iya-iya gue bercanda doang, kali, bu. Serius banget nanggepinnya."

Ah, Rekzy! Radja jadi ingat dengan Fia, kan. Lagi apa ya dia?

"Ada yang mau ditanyakan lagi?" Semuanya menggeleng. "Kalau sudah tidak ada pertanyaan, saya tinggal. Nanti kalau mau ada yang ditanyakan saya ada di ruang guru."

"Iya, buu!"

"Ja, ajarin nomer 1 dong. Nomer 2 juga. Tiga juga. Empat juga. Lima ju-"

Radja menggeram kesal. "Brisik lo, Zy!"

PythagorasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang