chapter 6::

194 44 0
                                    

"Nih ya, sebelum mengucapkan sesuatu itu harus dipikirkan juga; apakah kalimat yang akan lo katakan itu akan menyakiti lawan bicara lo, atau enggak. Apalagi nyakitin cewek, beh, bisa dosa lo."

-Fia, Pythagoras

🔹🔹🔹

Fia kembali ke ruang tamu menemui Radja dengan cengiran di bibirnya. "Nih, kamar mandinya di deket dapur ya." Ia menunjuk salah satu pintu setelah memberikan sweater Ayah pada Radja.

Radja tersenyum geli menahan tawanya. "Udah balik lagi?"

Alis Fia terangkat satu. "Apanya yang balik?" Tanyanya bingung.

"Tadi kalem banget, sekarang udah balik kayak biasa."

"Ya abisan, lo kalau ngomong nggak di saring dulu! Mana yang pedes, mana yang manis. Nih ya, sebelum mengucapkan sesuatu itu harus dipikirkan juga; apakah akan menyakiti lawan bicara lo, atau enggak. Apalagi nyakitin cewek, beh, dosa lo!"

Radja terkekeh melihat Fia berceloteh panjang lebar. "Iya-iya, sori."

"Tapi, tadi itu gue 'kan niatnya cuma bercanda. Lo-nya nanggepin serius. 'Kan yang salah itu elo. Harusnya, minta maaf aja nggak cukup..." di saat Fia sedang asik-asiknya berceloteh menghadap pintu utama, Radja yang berada di belakang gadis itu perlahan berjalan menuju kamar mandi meninggalkan Fia yang masih berceloteh. "Loh? Radja lo kemanaaa? Dari tadi gue ngomong sama sofa gitu ceritanya?!" Kesal Fia setelah selesai berbicara.

Radja yang berada di dalam kamar mandi terkekeh pelan mendengar suara cempreng Fia mengomel.

"Awas ya lo, Radja!"

🔹🔹🔹

Mereka bertiga-Fia, Radja, dan Bunda sudah berada di dapur dengan celemek di badan masing-masing. Setelah Radja berganti pakaian tadi, Fia sudah berjaga di depan pintu kamar mandi sambil melipat tangan di depan dada. "Pokoknya bantuin Bunda sama gue masak donat, titik!"

Radja menelan ludahnya yang mendadak susah ia telan. "Ayo, buruan ke dapur, Bunda nungguin dari tadi." Fia menarik lengan Radja agar mengikutinya ke dapur.

Jadi, di sinilah mereka. Di depan meja yang sudah penuh akan tepung yang berceceran-padahal acara masak-memasaknya juga belum di mulai. Ini ulah Fia yang tadinya disuruh melumuri tangan dengan tepung, malah mencoreti wajah Radja dengan tepung.

Pada akhirnya Radja dan Fia diusir oleh Bunda dari singgahsananya-
Dapur. Ya abisan, Bunda jadi kesal sendiri. Mereka berdua ada di dapur tapi bukannya membantu, tapi malah menambah pekerjaan.

"Ja gue gabut, main Slither, yuk! Yang score-nya lebih dikit mukanya dicoreng pake tepung, gimana?" Usul Fia sambil tertawa.

"Tepungnya mana?"

Fia tersenyum penuh arti sambil melirik saku celana pendek yang ia kenakan. Ia kemudian mencondongkan tubuhnya mendekat telinga Radja lalu berbisik. "Gue sempet ambil tepung Bunda tadi," ujarnya lalu tertawa. "Di luar yuk mainnya, entar ketauan Bunda bisa abis tinggal tulang, gue."

Radja terkekeh sambil berjalan menuju teras samping rumah Fia. "Eh, iya, lo apa emang suka ngelukis?" Radja bertanya, sesantai mungkin. Padahal jantungnya sudah berdebar tidak karuan sedari tadi.

Fia yang berjalan di depan Radja berhenti lalu menoleh. "Kalau maksud lo lukisan yang di pigura di tembok itu lukisan kakak gue." Ia menunjuk beberapa lukisan yang dipajang di tembok. "Nah, gue paling suka lukisan yang itu. Ngena gitu suasananya." Radja mengikuti arah telunjuk tangan Fia. "Bagus 'kan?"

PythagorasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang