Motor besar berwarna hitam milik Radja melaju di tengah padatnya kota Malang di saat akhir pekan seperti ini. Ia menolehkan kepalanya tepat ketika lampu lalu lintas berwarna merah dan ia merasa pipi Fia menempel pada punggungnya.
"Pegangan, Fi kalau emang mau tidur," ujar Radja sambil memindahkan tangan Fia yang tadinya berada di atas paha gadis itu menjadi menempel pada pinggangnya.
Sejenak ia tertegun. Gue lagi ngapain barusan?
Suasana yang cukup terik di siang ini membuat Radja menghentikan motornya di sebuah toko kecil di tepi jalan untuk sekadar membeli minuman dingin. Sebelum ia turun dari motornya, Radja membangunkan Fia terlebih dahulu.
"Kenapa? Ada polisi?" Tanya Fia yang masih setengah sadar dari tidurnya. Ia melihat sekelilingnya, lalu tersenyum lucu. "Hehe, kirain lo ditilang gara-gara gue nggak pake helm."
"Loh? Helm yang tadi gue suruh pake dimana?"
Memang saat Radja menjemput Fia, Radja sengaja membawakan helm untuk Fia.
"Itu. Dari tadi gue taruh situ. Abisan, kalo gue pake helm rambut gue nggak bisa terbang kayak lagi photoshot iklan shampo gitu." Radja mengikuti arah telunjuk Fia.
"Kok di cantolin di situ?"
"Kan barusan gue bil—"
Radja menyentil dahi Fia. "Pokoknya habis ini dipake!" Perintahnya. "Awas kalo enggak, gue turunin di pos polisi."
"Boleh boleh, kan banyak temennya papa, hehe. Kali aja dikasih uang, temennya papa baik-baik. Tapi kalau masalah aturan lalu lintas galaknya beneran. By the way, lo kayak Papa gue, deh. Galak banget kalo gue nggak mau pake helm atau seatbelt."
"Ce-re-wet."
Berbicara tentang jalanan seperti ini membuat Radja teringat akan suatu hal yang sedikit ia rindukan. Padahal, hal itu bukan hal yang bagus buatnya. Tapi, tetap saja ada sedikit rasa di dalam dirinya untuk mengulangnya barang sekali saja.
Selain itu, Radja juga ingin menyapa siapa-siapa yang biasanya selalu ia temui setiap harinya. Pada pukul 12 malam, di tengah gelapnya malam. Namun, suasanya yang ramai, tidak sepi.
"Kok melamun? Minum, nih," ucap Fia sambil menyodorkan sebotol minuman dingin yang baru dibelinya.
Radja melirik pertigaan jalan yang berada tak jauh dari sini. Kemudian senyumnya sedikit terukir. Ah, kapan gue bisa balik lagi kayak dulu?
"Tuh, melamun lagi, sih, lo."
"I—iya."
Radja menggelengkan kepalanya beberapa kali untuk kembali fokus. "Lo harus pulang jam berapa hari ini?" Tanya Radja pada Fia.
Fia yang tadi sedang memainkan sesuatu di ponselnya segera mendongak. "Terserah sih, Bunda nggak pernah ngasih jam khusus gitu. Palingan nggak boleh lebih jam 8 malam."
Radja mengangguk. "Kalau gitu, gue aja ke suatu tempat lo mau?"
"Kemana tuh?" Fia yang dasarnya kepoan menjadi tambah penasaran ketika Radja hanya menjawab dengan mengangkat kedua bahunya.
"Ah, sok misterius lo."
"Makan dulu ya kita?" Tawar Radja. Ia sudah menyalakan mesin motornya.
"Oke, siap!"
"Helm dipake."
Fia mengerucutkan bibirnya sambil mengemakai helm ke kepalanya. "Kirain lo udah lupa."
🔹🔹🔹
Radja mengurangi kecepatan laju motornya ketika jalanan yang dilewatinya lama kelamaan menjadi sedikit sempit dan sepi. Ditepi jalan itu tumbuh ilalang tinggi yang mampu menelan siapapun yang melewatinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pythagoras
Teen Fiction"Semua orang tau kok, hidup itu selalu tentang pilihan. Kamu tinggal pilih mana yang sesuai dengan hati kamu. Ya atau tidak, aku atau dia. Sesederhana itu." Ini tentang Fia dan Radja. Dua remaja tanpa hubungan apa-apa yang dipertemukan ole...