"Lo tau kan kalau pearasaan cowok bukan layangan yang bisa ditarik ulur seenaknya?"
-Radja, Pythagoras
🔹🔹🔹
Bad mood.
Semenjak tiga hari yang lalu-tepatnya hari dimana Kresna mengatakan bahwa dialah penyebab Radja menangis, Fia sama sekali tidak mau makan. Hanya meminum yoghurt yang ada di dalam lemari es mini di dalam kamarnya, itupun hanya tinggal setengah botol. Bahkan, dua hari kemarin ia tidak masuk sekolah.
Sudah lebih seratus kali Fia mengecek panggilan, serta chatnya dengan Radja. Namun tetap chat terakhirnya adalah tiga hari yang lalu. Padahal saat Fia melihat last seen Radja adalah tadi malam. Berarti Radja sengaja tidak mengirimnya pesan, kan.
"Hhh, perasaan gue apa kabar sih, ini?" Ia menutup wajahnya dengan slayer dari atas nakasnya. "Sumpah. Gue bukan siapa-siapanya Radja yang mewajibkan Radja harus chat gue selalu. Tapi udah berapa hari dia nggak nge-chat gue?"
"Rasanya sepi banget kalau dia nggaj nge-chat."
"Masa iya dia marah? Tapi kan terakhir kali gue ketemu dia kita nggak marahan."
Fia melangkah keluar kamar, dilihatnya rumahnya sangat sepi seperti tidak ada kehidupan sama sekali. Wajar, Bundanya hari ini pasti ada arisan ibu-ibu rumpi.
Oh iya, mengenai Ayahnya yang sejak awal tidak muncul di sini, Ayahnya memang sedang ditugaskan di luar kota. Kadang satu bulan sekali pulangnya. Padahal bukan Tentara.
"Ah, gue lapar." Sambil membuka lemari di dapurnya, Fia memegangi perutnya yang di dalamnya sudah ada banyak cacing berdemo. "Iya sabar, cacing. Ini gue mau masak."
Karena di dalam lemarinya hanya ada mi tanpa bumbu seperti mi Beruang Dara, dan dia tidak tahu menahu tentang bumbunya, Fia hanya mengambil satu mi itu dan memasukkannya ke dalam plastik yang ia dapatkan dari laci.
Ya, selanjutnya pasti kalian sudah bisa menebaknya. Iya. Benar. Fia meremasnya sampai jadi mi kering yang kecil-kecil. Kemudian yang ia lakukan adalah membuka sebungkus kecil micin lalu memasukkannya ke dalam plastik yang sudah berisi mi hancur itu.
"Nasib gue nggak bisa masak," gumamnya lalu membawa camilan buatannya itu ke ruang TV. "Mungkin liat TV bisa ngilangin galau," ujarnya ber-monolog. "Eh? Barusan gue bilang galau? Emangnya gue galau ya?" Fia tertawa sendiri.
"Jelas enggaklah! Kan gue swag." Jari telunjuk dan jempolnya membentuk tanda centang di bawah dagunya.
Tanpa Fia tahu, ada banyak panggilan yang masuk ke ponselnya. Sayangnya, suara dering ponselnya bukan super yang bisa terdengar ke lantai bawah.
"Aduh ngakak so hard!" Fia memegangi perutnya yang keram akibat tertawa terlalu keras. "Ngakak, itu kok rambutnya cuma sebiji doang, anjir."
Ternyata Fia sedang menonton Upin Ipin. "Eh? Kembar ternyata? Satunya pelontos, anjir. Kinclong," lagi-lagi Fia tertawa ngakak. Bodo amat suaranya nggak ke-kontrol. Manfaatkan saat sendirian di rumah.
Bukan pertama kali memang Fia menonton serial kartun itu. Pernah saat dia mengunjungi rumah pakdenya dan disuruh menemani sepupunya yang masih tk menonton tv. Tapi baru kali ini Fia menonton beneran. Biasanya juga dia menyambi main hape.
Karena Fizi menangis, Fia jadi cemberut. "Tuh kan, gue jadi inget Radja. Tapi emang beneran ya Radja nangis? Gue kira dia bakal nangis sama gue doang," gumamnya. "Eh, gue bukan orang spesial."
Triiing...
"Ganggu aja sih!" Fia menggerutu karena telepon rumahnya berbunyi. Padahal sekarang asik-asiknya. Kak Ros lagi marah dan Upin Ipin mau mengadu ke Opah. Kan seru.
"Halo? Kafesi disini. Mau pesan apa? Ada sate usus sama hati goreng. Tapi hatinya hati ayam, bukan hati saya. Nanti kalau hati saya digoreng, saya nggak bisa mencintainya lagi-"
"Kamu itu... tetep aja kayak dulu. Nggak berubah," suara di ujung sana tertawa pelan.
Cengiran jahil yang awalnya menghias di bibir Fia perlahan namun pasti menghilang. Juga bersamaan kakinya yang ia rasakan melemas seperti jelly.
Karena Fia tidak lagi bersuara, penelepon Fia berkata lagi. "Hei, apa kabar?"
"Not fine," jawab Fia.
"I'm sorry, baby bear."
"I don't know."
Fia dapat mendengar helaan nafas panjang dari sana. Antara getir dan canggung.
"Aku belum tau mau pulang kapan, maaf ya."
Fia tidak menjawab.
"Oke." Orang itu menjeda. "Aku tutup dulu teleponnya. Pelatihku udah datang. Nanti, kapan-kapan aku telepon lagi. Titip salam buat Bunda."
🔹🔹🔹
"Sumpah lo itu mirip cewek, tau nggak sih?"
"Ya udah, bodo amat."
"Kemarin nangis, sekarang curhat. Lembek amat, pete. Kemana hilangnya ke-kharismaan Sang Pla-"
"Nggak usah sok tau lo. Waktu itu lo masih kelas lapan."
"Tapi gue udah puber dari kelas tujuh," Kresna membela. "Kan lo orang pertama yang gue kasih tau pas gue-"
Radja memutar matanya. "Jijik."
"Gue nggak berak di sini loh."
"Anje-"
"Oke, serius." Wajah Kresna mendadak serius. Tangannya menyandarkan tubuhnya pada pilar. "Gue nggak mau lo jadi begini karena cewek itu."
"Siapa? Fia?"
"Ya. Siapa lagi? Ra-"
Satu pukulan mendarat dengan mulus pada rahang Kresna. "Jangan pernah sebut nama dia lagi!" Radja membentak. "Kres, lo tau kan kalau pearasaan cowok bukan layangan yang bisa ditarik ulur seenaknya? Dia udah narik perasaan gue ke dekat dia, lalu dia pergi yang otomatis mengulur perasaan gue. Lo tau kan gimana rasanya?" Sekali lagi Radja melayangkan satu pukulan. Namun kali ini tepat pada perut Kresna dan lebih keras.
Tangan Kresna mengelus rahangnya dengan miris. "Iya gue tau. Tapi kenapa gue yang jadi pelarian sih? Ambil samsak kek sana di belakang."
"Nggak sempet ambil. Lo juga nggak beda sama samsak," Radja berujar tanpa merasa bersalah sedikitpun pada rahang maupun perut Kresna yang mulai nyut-nyuan. "Lo kalau gue curhat bisa nggak sih kasih masukan bukan malah ngomel?"
"Ya lo kalau curhat ya curhat aja keles, fisik lo nggak usah ikutan curhat. Mentang-mentang perut lo six pack otot lengan lo gede. Nggak kayak gue yang kayak sapa itu... nah iya, Agung Hercules."
Kesal, Radja meloyor kepala Kresna. "Pala lo Agung Hercules!"
"Iya dong, pala gue Agung Hercules. Getaran cinta tak dapat dihindar lagi, na na na na na Astuti!"
Mau tak mau Radja tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Apalagi Kresna yang memang tidak hapal lirik. "Sa ae lo bikin gue ketawa."
"Sek sek, dab dhisek!" Kresna dengan sisa tawanya meletakkan sisi tangan kanannya di depan dahi dan tangan kirinya lurus ke sebelah kiri sejajar dengan-ah, kalian pasti tau gaya dab kan. Ini bingung mau deskripsikan. Haha.
🔹🔹🔹
30 Mei 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pythagoras
Teen Fiction"Semua orang tau kok, hidup itu selalu tentang pilihan. Kamu tinggal pilih mana yang sesuai dengan hati kamu. Ya atau tidak, aku atau dia. Sesederhana itu." Ini tentang Fia dan Radja. Dua remaja tanpa hubungan apa-apa yang dipertemukan ole...