#Mimpi

459 63 22
                                    

"Mom." Sebuah suara mungil membuat kesadarannya bangkit. Dia merasa seseorang menaiki ranjangnya. "Mom, ayo bangun."

Dia membuka matanya dan melihat sepasang mata biru mungil menatapnya. Tangan yang sama kecilnya memegang pundak yang masih tertutup bed cover. Mulut perempuan itu tersenyum, rasa hangat memenuhi hatinya. Dia beringsut sedikit.

"Hmm?" Dia mengeluarkan suara dari mulutnya yang masih tertutup. "Dimana Daddy?"

"Di dapur," jawab si kecil. "Dad bilang kita sarapan bareng."

Wanita dengan rambut coklat sepunggung itu bangkit lalu meraup anak laki-lakinya dalam pelukan, menghirup bau bedak bayi yang lembut dalam-dalam. Dia turun dari tempat tidur sambil menggendong bocah berusia tiga tahun itu.

"Morning," sapa seorang pria dengan suara bariton yang rendah ketika mereka tiba di sebuah ruang makan sekaligus dapur yang bermandikan cahaya matahari. Warna putih dan krem yang mendominasi ruangan itu memberi nuansa hangat nan teduh.

Sang Pria berjalan ke arah istrinya dan mengecup  bibirnya sekilas. "Bagaimana tidurmu?"

"Nyenyak." Wanita itu tersenyum manis, mata coklatnya yang berbentuk almond menatap hangat. Dia melepaskan anaknya yang ingin berlarian dari gendongannya, memberi kesempatan bagi suaminya untuk mendekat dan membelai pipinya.

"Aku membuat Vanilla Pancake dengan sirup Maple, kesukaanmu." Sang Pria menggamit jemarinya dan menariknya menuju meja makan. Dia mengikuti suaminya sambil bersyukur diberikan keluarga yang begitu sempurna.

"Terra!!!"

Sebuah suara bergema dalam kepalanya membuat dia tertahan. Sebuah kilasan muncul di kepalanya, gelap dan api.

"Ada apa?" tanya suaminya heran ketika dia berhenti melangkah. "Apa kepalamu sakit?"

Dia menggeleng pelan dan tersenyum menenangkan. "Bukan apa-apa." Dia hendak melangkah namun sekali lagi kilasan itu muncul, lebih jelas.

Sebuah ruangan gelap, langit-langitnya dari kayu yang lapuk. Ada api menjalar di tiang-tiangnya. Panas, sesak. Seorang pria berteriak memanggil namanya.

"TERRA!!!"

"Aku tidak mau," gumam wanita itu sambil memegangi kepalanya. Suaminya mendekatinya dengan khawatir, mengangkat wajahnya dan memeriksa apakah dia kesakitan.

"Kamu yakin tidak apa-apa? Aku akan menelpon 911." Pria itu hendak beranjak.

Terra menahan tangannya. "Jangan."

Bayangan itu datang lagi seiring rasa panas yang makin menyengat. Suara pria berambut kecoklatan dan berkemeja putih itu makin jelas.

"BANGUN!!!"

Terra tersentak dan membuka matanya. Matanya nyalang memandang sekeliling, dia berada di tengah api. Dia melihat rekan kerjanya memandangnya panik.

"Hendry?"

"Syukurlah kamu sadar. Aku kira aku telah kehilangan dirimu." Pria itu terlihat lega. "Kamu pingsan selama lima menit setelah kusuntikkan Enhancer."

Terra memandangi tangannya, kurus, seperti tulang berbalut kulit, dipenuhi bekas luka, sungguh berbeda dengan tangannya di mimpi, yang halus dan sehat.

"Apa kamu gapapa?" Hendry bertanya lagi. "Kita harus keluar dari sini sebelum bangunan ini runtuh, hanya kamu yang bisa membuka jalannya."

Terra tidak langsung menjawab, digenggamnya tangan rapuhnya dan tersenyum getir. Saatnya dia menghadapi kenyataan. Dia berdiri dan mengangkat tangannya ke depan, memusatkan konsentrasinya pada lidah-lidah api yang liar. Dia membayangkan seluruh lidah api di ruangan itu bergerak mendekatinya dalam gerakan memutar lalu perlahan-lahan menghilang. Perlahan, apa yang dibayangkan menjadi kenyataan, seakan ada konduktor yang mengayunkan tongkat di hadapan orkestra, seluruh api menuruti perintahnya, memutar dan lenyap. Dalam waktu kurang dari semenit, kebakaran itu sudah padam, menyisakan asap hitam dan bau gosong.

Terra menghela napas. Dia berhasil namun tidak dengan murah. Dadanya ditekan hingga sakit dan memaksanya memuntahkan darah hitam.

"Kamu harus segera diberi suntikan penetral, menggunakan Enchancer untuk memperkuat pyrokinesismu tidak pernah menyenangkan." Hendry meletakkan tangan Terra di pundaknya, membantu gadis itu berjalan. "Aku akan membawamu ke Arthur."

Terra hanya mengangguk lemah, menyandarkan seluruh bobot tubuhnya yang tak seberapa ke rekan satu timnya di kepolisian, berusaha melangkah.

Dia tersenyum mengingat mimpinya, mimpi itu sederhana namun terasa jauh. Kehidupan yang diimpikannya itu tidak akan pernah terjangkau oleh dirinya yang rusak oleh obat-obatan eksperimen. Hidupnya tidak lama lagi, dia tahu, tapi setidaknya di waktu singkatnya, dia sempat bermimpi indah.

End

One Word ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang