#Psycho

170 28 15
                                    

Senyum itu melebar namun tidak pernah sampai ke mata, membentuk sebuah sabit yang indah namun dingin. Tidak ada emosi di sana.

"Kalian memerlukan aku." Dia berkata, dengan senyum yang sama sebelum dia menaruh tangannya di atas pangkuan. Matanya menutup sejenak sebelum perlahan diangkat dan memandang lawan bicaranya.

Robert merasa bulu kuduknya berdiri ketika mata hitam tak berdasar itu beradu pandang dengannya, namun dia tetap mempertahankan ketenangannya. Sebuah sikap yang dia latih setelah puluhan tahun menghadapi para kriminal.

Lampu neon dalam ruangan itu memberikan penerangan yang cukup bagi Robert untuk melihat setiap detil ekspresi wanita berambut pirang sebahu di hadapannya. Hanya ada meja di antara mereka dan dia tahu, dibalik cermin dua arah belakangnya, setidaknya ada lima orang timnya sedang mengamati.

"Dan aku memerlukan kalian--" Dia menahan kalimatnya di udara, memandang ke arah cermin sekilas sebelum mengembalikan tatapannya ke arah pria setengah baya di hadapannya dan melanjutkan, "Memerlukanmu, lebih tepatnya."

Sensasi dingin menjalari tulang punggung Robert. Senyum Judith, demikian namanya menurut data kasus, berubah menjadi seringai, menampilkan sebaris gigi putih di balik bibir merah mudanya.

"Jadi, kapan kita akan mulai bekerja sama?" Dia terus berkata.

"Ada satu kesepakatan yang perlu kita setujui." Robert berusaha untuk tetap memegang kendali atas sesi ini. "Tugasmu hanya melacak. Selanjutnya adalah bagian kami."

"Sayang sekali." Judith menutup matanya dan bibirnya kembali datar, membuatnya terlihat sedih tapi Robert tahu kebenarannya. "Aku harus menolak syarat tersebut."

Dia kembali mengarahkan matanya ke Robert. "Bukankah tujuan kita sama? Menghentikan seseorang yang melakukan kejahatan? Hanya caraku berbeda dengan cara kalian."

Robert diam, balas memandang Judith tanpa gentar. "Tanpa syarat itu, kesepakatan kita batal, kamu bisa kembali meringkuk di penjara--"

"Dan dia akan terus membunuh." Judith kembali tersenyum. "Saat ini dia sudah menentukan siapa target selanjutnya." Nadanya tenang, terlalu tenang malah, ada kekosongan di sana. "Oh, dia pasti akan menikmati setiap sayatan pada kulit putih milik para pelacur kelas atas."

Judith menutup mata, dia dapat membayangkan setiap detil yang dilakukan oleh buruannya. Senyumnya makin lebar. Dalam bayangannya dia mengejar dan menyudutkan lawannya lalu ....

"Cukup!" Suara Robert menghentikan khayalan Judith. Pendiriannya goyah, apakah tidak ada cara lain untuk menghentikan monster diluar sana selain meminta bantuan Judith?

"Bagaimana kalau begini," ucap wanita yang masih terlihat seperti awal dua puluhan. "Bila aku yang menemukannya lebih dulu, akan aku lakukan seperti yang biasa kulakukan namun bila kalian menemukannya terlebih dahulu, dia menjadi milik kalian. Aku tidak akan menyentuhnya."

Robert terdiam. Kepalanya menimbang seluruh resiko yang bisa dia pikirkan dan sayangnya sejauh ini, tawaran Judith adalah yang terbaik. Dia menelan ludah.

"Baik," jawab pria itu seraya berdiri, berjalan ke arah pintu. "Aku harap kamu memegang kata-katamu."

"Aku selalu memegang perjanjian, Robert."

"Dalam waktu sepuluh menit, kamu akan mendapatkan kebebasanmu secara bersyarat. Salah satu tim ku akan mengawasimu, kamu hanya perlu memastikan kamu terlihat olehnya atau kamu dianggap menyalahi kesepakatan."

Judith memiringkan kepalanya, tidak setuju tapi akhirnya dia mengangguk. "Baik."

Robert berjalan menuju pintu ketika Judith memanggilnya.

"Kamu tahu, bukan? Aku sama dengan kalian." Wanita itu berkata, terus duduk di tempat duduknya, menatap cermin. Ada lima orang dibaliknya yang mengawasinya. "Kita berdua memperjuangkan keadilan, memastikan bahwa tidak ada penjahat yang berkeliaran membunuh."

"Tidak," jawab Robert tegas, menoleh ke arah Judith. "Kami membawanya ke hadapan hukum, tidak sepertimu yang membunuh mereka."

Judith tertawa kecil. "Aku hanya memastikan mereka merasakan apa yang telah mereka lakukan pada para korban mereka." Dia menoleh, memandang Robert. "Bukankah itu yang dinamakan keadilan? Kalian membutuhkanku, karena hanya aku yang bisa membalas dengan sempurna setiap kejahatan."

Robert tidak menjawab. Dia membuka pintu dan keluar. Baru pada saat itu dia melepas napas lega. Hati nuraninya terusik, apakah benar meminta pertolongan Judith? Namun seketika itu, puluhan foto TKP terputar dalam benaknya. Lantai bersimbah darah, mayat dan mata kosong tanpa kehidupan. Robert menghela napas berat. Dia butuh monster untuk memburu monster.

End

One Word ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang