#Kacau

343 60 15
                                    

"August?" tanya Chloe seraya berjalan melewati pintu depan yang tak terkunci, masuk ke dalam ruang tamu yang sepertinya tidak dibersihkan selama beberapa hari. Dia dapat melihat kaos kaki di salah satu sudut ruangan bernuansa biru putih tersebut.

Perempuan berambut brunette itu menghela napas. Dia dapat menduga apa yang terjadi di sana. Augusta berlarian masuk ke dalam rumah, melepas kaos kaki, lalu melesat masuk. Chloe dapat menduga ke mana pria itu menghilang.

"August?" panggilnya sekali lagi.

Tidak ada jawaban. Chloe semakin yakin dugaannya benar. Augusta pasti berada di rumahnya, mobil beetle keluaran tahun 90an yang terparkir di depan rumah sederhana itu adalah buktinya.

Gadis berusia pertengahan dua puluh itu berjalan makin dalam. Ini bukan pertama kalinya dia ke sana. Sering kali dia berkunjung untuk memastikan sahabatnya itu masih ingat memasukkan makanan ke tubuhnya. Begitu pula dengan kali ini. Dia sudah membawa bekal berupa masakan rumah yang dibungkus di dalam kotak makan.

Dia melewati pintu di antara dapur dan ruang tamu dan langkahnya berhenti. Terdengar gumaman-gumaman samar dari dalam sambil sesekali terdengar suara kapur digesek pada papan. Senyum langsung mengembang di bibir merah muda gadis itu. Orang yang dicarinya berada di dalam, tepat seperti dugaannya.

Perlahan, Chloe membuka pintu, tidak ingin mengagetkan sang Tuan Rumah. Dia mengintip dan menemukan seorang pria berambut hitam kusut sedang menghadap ke arah papan tulis yang memenuhi dinding ruangan berukuran 6x6 meter tersebut. Kemeja putih dan sweater coklat yang dipakai olehnya tampak longgar di tubuhnya yang tinggi namun kurus.

Senyum Chloe makin lebar seiring perasaan hangat yang memenuhi benaknya. Dia tentu punya alasan untuk sering menyempatkan diri berkunjung ke sana, salah satunya adalah ingin bertemu dengan si Jenius yang memenuhi seluruh papan tulis dengan rumus dan persamaan.

"August," panggilnya. Dia benci memaksa pria itu keluar dari labirin otaknya tapi dia berani taruhan kalau August belum makan dari pagi, bahkan mungkin sejak semalam.

Sosok itu tersentak dan menoleh. Mata emas yang bersembunyi di balik bingkai kacamata lebar berwarna coklat itu, berbinar ketika melihat Chloe mendatanginya dan berhenti dalam jarak selengan dari Chloe. Senyumnya juga mengembang.

"Chloe!" serunya, meninggalkan riset yang telah menenggelamkan dia selama seminggu terakhir. "Sejak kapan kamu datang?"

"Baru saja." Chloe mengangkat bekalnya. "Kapan terakhir kamu makan?"

Terdengar suara keroncongan dari perut Augusta membuat pria itu tersipu malu. Chloe menyerahkan bekalnya kepada Augusta. Pria itu membukanya dan seketika aroma daging memenuhi ruangan yang dipenuhi oleh buku dan makalah. Augusta menghirup bau itu dengan nikmat sebelum menyantap daging panggang buatan Chloe. Selagi Augusta mengecap, Chloe mengambil kesempatan untuk melihat-lihat proyek terbaru dari salah satu ilmuwan terbaik abad ini.

"Chaos Theory?" tebak Chloe ketika menyadari persamaan yang tertulis. Dengan latar belakang pendidikan pasca sarjana matematika terapan dari universitas Oxford, Chloe yakin tebakannya tidak salah. Universitas Oxford, gadis itu tersenyum, memutar kenangan setahun silam saat dia dan Augusta bertemu pertama kali di sana. Klise, Augusta yang terburu-buru mengajar menabrak Chloe, namun sejak itu mereka mulai berbicara terutama ketika mereka memiliki ketertarikan dengan penelitian tentang teorema-teorema ilmu sains dan penerapannya.

"Yep!" jawab Augusta setelah menelan seluruh kentang goreng, menoleh ke arah Chloe sambil tersenyum lebar seperti anak kecil menemukan mainan baru.

Tanpa sadar Chloe ikut tersenyum, detak jantungnya bertambah cepat beberapa kali. Senyum itu yang membuat Chloe jatuh hati. Senyum polos kekanakan yang murni. Tingkah kekanakan dari seorang professor muda yang dihormati banyak orang, sisi lain dari Augusta Pennington. Chloe berharap hanya dia seorang yang mengetahui sisi itu.

"Kamu tahu, penggunaan teori kekacauan sangat luas." Dia berdiri dari kursinya, berjalan ke arah gadis yang berdiri di depan papan tulis. Detak jantung Chloe makin liar ketika jarak mereka makin dekat tapi Augusta mengubah arahnya ke papan tulis pertama, menunjuk pada persamaan awal yang sudah diketahui, membuat Chloe merasa lega sekaligus menyesal. Makanan yang masih setengah dimakan terlupakan begitu saja di meja.

"Dengan teori kekacauan, manusia bisa memprediksi hal-hal yang tidak bisa diprediksi. Potongan random yang tidak berpola akan bisa dipetakan bila dengan menggunakan teori ini." Chloe menatap Augusta tanpa berkedip, jantungnya berdetak keras ketika melihat wajah penuh semangat pria itu. Senyum tipis tak hilang dari wajahnya. "Penggunaan selama ini mencakup prediksi cuaca, menghitung pola DNA dan berbagai macam lainnya."

Dia berhenti dan menatap Chloe dengan mata berbinar. Chloe tahu, ini saatnya dia melontarkan pertanyaan yang tepat.

"Lalu apa yang sedang kamu coba prediksi di sini?"

Senyum Augusta melebar membuat wajahnya terlihat manis. Kilat semangat muncul di matanya. Chloe kembali tersenyum lebar. Dia menyukai Augusta yang seperti ini. Dia menyukai bagaimana pria itu jatuh cinta dengan pekerjaannya walau itu berarti Augusta tidak akan pernah jatuh cinta padanya.

"Aku sedang mencari persamaan yang memecahkan masalah medis. Jika ini dipecahkan, mungkin aku bisa mengerti apa yang terjadi padaku." Tiba-tiba saja semangatnya turun drastis hingga Chloe khawatir. "Tapi, sampai saat ini aku masih belum bisa menghitungnya."

Gadis itu segera menghampiri Augusta, berusaha menghiburnya, namun ketika Chloe mendekat, dia malah melompat mundur.

"Tetap di sana!" Ada urgensi di nadanya yang membuat Chloe mematung, dengan denyut sakit penolakan di dadanya.

"Aku hanya khawatir," balas Chloe berusaha meyakinkannya.

"Stop! Kamu penyebab irregularitas detak jantungku. Aku sedang berusaha memprediksi apa yang terjadi pada diriku." Augusta mundur selangkah, wajahnya terlihat panik. Tangannya berada di depan dada, membentuk benteng. "Tetap di sana sampai aku selesai dengan teoriku."

Chloe terdiam, memandang ke arah Augusta yang masih menjaga jarak dengannya. Dia sedang mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh pria berusia akhir dua puluhan itu. Ketika sirkuit dalam kepalanya tersambung dan sebuah kesimpulan muncul dalam kepalanya, seketika dia merasa rasa panas merayapi pipinya. Tanpa bisa menahan, dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

Apakah Augusta baru saja menyatakan perasaannya?

End

Requested by @eina_lucia

One Word ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang