#Ambisi

150 29 5
                                    

Sebuah pintu ganda dari kayu berdiri menjulang di hadapanku, terbuat dari kayu jati dan dipenuhi ukiran khas Jepara. Samar-samar aku dapat mencium sisa bau kayu cendana. Entah bagaimana sang Tukang Kayu memadukan kedua kayu tersebut.

Aku mengambil napas sebelum mendorong pintu berat tersebut. Sebuah kamar tidur luar menanti. Kamar itu kosong, hanya ada sebuah tempat tidur rumah sakit di salah satu sudutnya lengkap dengan tiang infus dan alat EKG yang berbunyi redup, memberi tanda kehidupan pada sosok yang terbaring di sana.

Sejenak, aku terdiam di depan pintu. Kakiku terasa berat, enggan melangkah ke sisi tempat tidur tapi akhirnya aku memaksa diri untuk berjalan. Untuk inilah aku datang ke tempat terkutuk ini. Demi ibu yang memohon agar aku datang.

Perlahan aku melihat dia yang terbaring di sana. Orang itu kurus kering, tulang kecilnya terbalut oleh kulit keriput sewarna sawo matang. Matanya yang tertutup menonjol dari rongganya. Dia seperti mayat hidup. Dadanya yang naik turun seakan kepayahan.

Aku menatapnya dan perasaanku tercampur aduk. Tak kusangka ada rasa iba yang terselip. Kukira rasa itu telah mati dua puluh tahun silam. Aku di sana, berdiri di hadapan orang yang pernah kupanggil ayah.

Pria tua itu sepertinya menyadari keberadaanku, dia membuka matanya pelan dan menoleh lemah. Dia mengenaliku dan membuka mulutnya tapi hanya ada suara-suara geraman dari tenggorokannya, bahkan untuk menggerakkan lidahnya pun dia tak mampu. Aku merapatkan mulutku, inilah sosok yang pernah kutakuti di masa lalu. Monster itu tak lagi menakutkan, dengan ikat pinggang dan sesekali pisau dapur.

"Aku hanya kemari atas permintaan Ibu dan Sisca," ucapku membalasnya. "Mereka memohon agar aku menjengukmu barang sekali."

Aku terus berkata-kata tanpa menunggu jawaban, lagipula apa yang bisa dikatakan oleh orang setengah mati sepertinya?

"Bersyukurlah, akhirnya aku mau menemuimu."

Dia memandangku, matanya berkaca-kaca. Aku terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Setelah sekian lama mengejar uang dan meninggalkan kami, inikah yang kamu dapat? Sebuah ruangan kosong berisi alat kesehatan."

Sebutir air mata menetes di pipinya yang keriput dan dia berusaha berkata-kata lagi. Mulutnya bergerak-gerak tapi suaranya tetap serupa geraman. Aku menunggu hingga dia selesai sebelum kembali berkata-kata.

"Bertahun-tahun aku mencari cara agar bisa membalas perbuatanmu tapi aku rasa hal itu tak perlu lagi kulakukan." Aku menatapnya, terdiam lagi. "Hidup telah membalasmu."

Air matanya kembali turun.

"Aku akan datang lagi bersama Ibu dan Sisca." Akhirnya aku berkata, merasa hatiku melunak. Tidak ada yang perlu kubenci dari orang yang setengah nyawanya telah digenggam maut.

Aku mengangguk singkat sebelum berjalan keluar.

End

One Word ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang