"Kerajaan Arcana hancur tak lama kemudian dan Forsetta hilang bersama dengan kristal Angin yang mengurungnya ...."
Raven berhenti berbicara ketika menyadari murid satu-satunya sedang melamun, memandangi jendela yang meloloskan sinar merah matahari sambil menopang dagu. Pemuda berambut hitam sepunggung itu hanya menghela napas.
"Credo, sebutkan tiga nama murid terbaik Akademi yang dikirim untuk meneliti reruntuhan Kerajaan Arcana seratus tahun silam!"
"Helios Leonrith, Caelia Caelistis dan Eibie Norgia," jawab Credo tanpa menoleh sebelum menghela napas dan melanjutkan dengan lebih ketus, "bukannya sudah kubilang kalau aku sudah selesai menghafal tentang penemuan Wind Crystal?"
Anak berusia dua belas tahun itu membalas tatapan Raven. Alisnya berkerut dengan mulut melengkung turun. "Kamu meremehkanku!"
Dia melipat tangan di dada setengah merajuk.
"Ya, ya." Raven berjalan mendekati anak itu lalu mengacak rambut hijaunya. "Kamu sedang memikirkan sesuatu 'kan?"
"Hentikan!" Credo merapikan rambutnya sambil menepis tangan Raven yang masih berusaha menjangkaunya. Wajahnya terlihat makin kesal. "Aku bukan anak kecil!"
Raven tidak menjawab, dia hanya memandangi Credo dengan mata hitamnya, menunggu dia berkata jujur.
Credo berdecak sebelum akhirnya menyerah. "Aku cuma berpikir soal Ayah. Bu-bukan berarti aku peduli pada tua bangka itu." Dia menghembuskan napas kesal, melipat tangannya lebih erat ke dadanya.
Raven menghela napas pelan, nyaris tidak kentara. "Masih ada waktu sebelum shift jaga di S.E.A. Apa kamu mau bertemu dengannya?"
Credo terdiam sejenak sebelum kesedihan menyaput matanya. Anak itu menutupinya dengan mematikan proyektor tabletnya sambil mengerutkan alis. Seketika itu juga, hologram yang menampilkan reruntuhan kerajaan kuno itu lenyap. "U-untuk apa? Aku ada di rumah atau tidak pun, dia ga peduli."
Sambil terus berusaha terlihat sibuk dengan membereskan perlengkapan belajarnya, Raven dapat melihat Credo berusaha mengendalikan dirinya. Gerakan Credo akhirnya melambat, sampai akhirnya dia berhenti dan membiarkan sebuah pertanyaan yang selama ini mengganggu hatinya keluar.
"Apa ... aku benar-benar membawa harapan?" tanyanya lirih, bahunya yang kecil gemetar.
Mata Raven meredup dengan tidak kentara. Sejak dia secara tidak sengaja menyebut arti nama dari anak didiknya, Credo jadi makin bertanya-tanya tentang alasan keberadaannya. Credo Solana Leonrith, angin yang membawa harapan.
"Ibu memberikanku nama itu dengan harapan aku membawa perubahan dalam pernikahannya yang dingin dengan Ayah tapi ...." Bibir tipisnya tersenyum getir. Dia mati-matian menahan air mata yang mulai menggenang. "Dia bahkan tidak pernah sekalipun menatapku di mata."
Raven diam, tanpa perlu Credo bercerita, posisinya sebagai mentor anak itu telah membuatnya melihat lebih dari cukup. Bagi ayahnys, Credo sama sekali tidak ada. Setiap hari, Credo dianggap angin lalu.
"Brak!"
Credo memukul meja dengan tangan, membuat pemuda itu terkejut. Sekali, dua kali, sampai Raven harus menahan tinju anak itu agar tidak berdarah.
"Hei--"
"Aku--akan--buktikan--kepada--tua--bangka--itu!" desis Credo di sela-sela amarahnya. "Sampai dia mau tidak mau harus mengakui keberadaanku!" lanjutnya, penuh penekanan.
Sebuah senyum tipis muncul di wajah tampan milik pemuda itu. "Ya, ya. Sebelum itu biar memarmu dirawat dulu." Raven melepaskan tangan Credo. "Aku perlu kembali ke rumah untuk mengambil beberapa barang, kalau mau, kamu bisa ikut. Kita akan berhenti di Rose's Cake."
Raven dapat melihat binar bahagia di mata Credo, hanya sekilas sebelum dia kembali mengerutkan alis. "Hmph, kalau kamu memaksa sih. Aku akan menemanimu."
Raven memutar bola matanya melihat Credo berusaha tampil dewasa. Dalam hati dia tertawa, anak itu terlihat lucu seperti itu. Dia berjalan keluar dari kamar belajar Credo, sementara anak itu mengekor di belakangnya sambil memeluk tablet. Mereka sedang menyusuri mansion milik keluarga Leonrith selama turun temurun menuju pintu keluar ketika sebuah pikiran terlintas di kepalanya.
"Kamu akan hidup sesuai dengan namamu. Kamu akan membawa harapan bagi banyak orang."
Credo hanya menaikkan ujung bibirnya ketika mendengar perkataan sederhana itu. Dia tidak tahu bahwa perkataan itu menjadi kenyataan dua tahun kemudian, saat pecah perang antar benua. Saat itu, seorang pemuda berusia empat belas tahun membawa harapan untuk lahirnya perdamaian.
End
________________________________
Cerita ini termasuk dalam seri Arletha Chronicles
KAMU SEDANG MEMBACA
One Word Challenge
Short StorySatu kata satu cerita. Dari inti menjadi kisah. Selamat datang di dunia di mana makna kata dilerai menjadi sebuah hikayat dan nikmati setiap perjalanan dari zaman lampau hingga masa depan tentang berbagai jenis tokoh dan kehidupan. Selamat membaca...