Dia selalu meyakinkan diri bahwa sahabatnya akan kembali. Tak peduli hari berganti bulan, bulan berganti tahun, dia datang di stasiun pada petang hari, menunggu. Kereta datang dan kereta pergi membawa kerabat atau kekasih, berjumpa dan melepas rindu.
Namun ketika kereta api terakhir meniggalkan stasiun hari itu, hanya tinggal dirinya di sana. Satu hari lagi berlalu dengan harapan kosong. Dia sudah terbiasa, hingga hatinya mati rasa. Tidak ada kesedihan maupun keputusasaan. Ini hanyalah hari yang ditambahkan ke dalam tahun penantian.
"Perang sudah berakhir," kata penduduk. "Semua sudah kembali ke keluarga masing-masing. Bila dia tidak kembali, berarti dia tidak ingin pulang."
"Atau dia sudah mati," sahut yang lain.
"Atau dia dibawa ke negara musuh dan dijadikan budak!"
Suara-suara itu dibiarkan berlalu. Bagaikan angin berembus menggugurkan bunga musim semi. Dia tidak mampu berhenti untuk berharap. Itu jauh lebih mudah daripada melanjutkan hidup tanpa sahabat. Menunggu menjadi bagian dari kehidupannya. Berjalan kaki dari toko rotinya ke stasiun adalah rutinitas yang tak lalai dilakukan.
Ya, itu lebih baik daripada menganggap pemuda itu sudah mati.
Bersama cahaya senja yang melemah, dia kembali melewati jalan yang sama ribuan kali dilaluinya, menuju ke tengah kota, tempat rumah kecilnya berada. Setapak demi setapak, kakinya menginjak tanah yang keras. Hingga tiba-tiba sebuah suara membuatnya berhenti.
"Virial."
Suara itu familiar. Dia menoleh dan mendapati mata hijaunya membelalak tidak percaya. Yang ditunggu berdiri dalam jangkauan tangan untuk dipeluk.
Tidak ada yang berubah dari yang dia ingat tentang sahabat masa kecilnya itu. Badan tegap berbalut vest coklat, kemeja putih dan dasi hitam. Virial sepeti melihat bayangan dari masa lalu.
"Xelxia, kau kembali."
"Ya, ini ak---"
Pemuda itu belum menghabiskan kata-katanya ketika sepasang tangan mendekapnya dalam kehangatan. Dia terkejut sejenak sebelum membalas pelukan itu.
"Aku pulang, Virial."
"Aku tahu, kau pasti akan kembali," ucap Virial dengan suara bergetar.
Namun tiba-tiba dia merasakan rasa sakit menjalar dari lehernya. Kulitnya ditusuk oleh sebuah benda tajam dan perlahan cairan tubuhnya terhisap keluar. Kekuatannya tiba-tiba hilang dan tahu-tahu saja dirinya didorong hingga punggungnya menghantam tanah.
Dia melihat sepasang mata merah memandanginya dengan wajah Xelxia tersenyum ke arahnya. Mata hitam milik sahabatnya yang ramah berganti dengan tatapan bengis sewarna dengan cairan yang menetes dari gigi taringnya.
"Aku pulang untuk meratakan tempat ini, sisa masa lalu yang harus kumusnahkan."
=====================
Hasil prompt machine dengan tema:
War, Childhood Friend, Red Eyes
Iya agak beda dari konsep one word challenge wkakakaka tapi sejak awal ini work untuk menyimpan drabble-drabble ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Word Challenge
Short StorySatu kata satu cerita. Dari inti menjadi kisah. Selamat datang di dunia di mana makna kata dilerai menjadi sebuah hikayat dan nikmati setiap perjalanan dari zaman lampau hingga masa depan tentang berbagai jenis tokoh dan kehidupan. Selamat membaca...