Part 3

1.4K 87 0
                                    

Ali menatap pantulan dirinya di cermin tepat di hadapannya, ia melepas kacamatanya yang selalu setia menemaninya saat ia akan membaca buku atau belajar. Lalu ia menyalajan keran air dan membasuh mukanya, setelah itu, ia keluar dari toilet. Ali rasa, selama ia menabrak Prilly benerapa minggu lalu ia sudah tidak tenang seperti dulu lagi.

Hampir setiap hari, ia selalu dibully oleh Prilly. Namun, anehnya lagi, setiap Prilly membullynya, Prilly membully seperti melindungi dirinya. Bukannya Ali percaya diri, hanya saja ia merasakan seperti itu. Setiap akan membully Ali, Prilly selalu berbicara di depan umum tak ada yang boleh membully Ali selain Prilly. Setahu Ali, jika ada orang yang membully maka Prilly juga akan ikut membully bahkan mereka bisa dibilang kerjasama untuk membully. Tapi, kenapa Prilly membullynya terkesan seperti melindunginya?. Bahkan Prilly membullynya tidak seperti Prilly membully orang lain. Menurut Ali, Prilly membullynya hanya sekedar menyeretnya ke taman atau belakang sekolah diberi peringatan jika menurut Prilly, Ali berbuat salah padahal menurut Ali, ia sama sekali tak berbuat salah apapun.

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu, Ali terpaksa pulang belakangan karena takut Prilly datang dan membullynya lagi. Ia berjalan, melangkahkan kaki panjang miliknya menuju parkiran, Ali mengambil sepeda miliknya yang ia sandarkan di pohon jambu. Ali mulai mengayuh sepedanya keluar dari pekarangan sekolah Taruna Negara.

Bersiul sambil mengayuh sepeda, Ali dengan penuh semangat mengayuh sepedanya hari ini. Entah mengapa hari ini ia begitu semangat ketika mendengar pernyataan Prilla bahwa Prilla juga menyayanginya. Pernyataan Prilla tersebut bagaikan energi buatnya agar ia bersemangat menjalani hari ini.

Ali menghentikan kegiatan mengayuhnya ketika ia melihat seorang yang sangat ia kenali berdiri di pinggir jalan bersama motor maticnya. Prilly. Satu hal, Ali bisa membedakan mana Prilla dan mana Prilly. Alipun menghampiri Prilly lalu bertanya.

"kamu kenapa?,"

Mendengar suara seorang pria yang tepat berada di sampingnya, Prillypun mendongak, awalnya ekspresi wajahnya kaget ketika melihat Ali berada di hadapannya akan tetapi Prilly kembali merubah ekspresi wajahnya menjadi datar.

"lo gak liat motor gue kenapa?," tanya Prilly ketus.

"mogok ya?"

Prilly berdecak, "udah tahu nanya lagi. Bantuin gue kek." sungut Prilly.

"aku gak bisa bawa motor,"

"yang nanya lo siapa, cupu?"
"aku cuma mau bilang aja, kalau aku gak bisa dorong motor bisanya cuma naik" ujar Ali. "oh, gini aja, kamu aku bonceng pake sepeda aku sampai ke rumah kamu gimana?" tawar Ali.

Prilly ragu, apakah mau menerima tawaran Ali atau menolaknya?. Prilly hanya tak mau nanti Ali kelelahan karena mengayuh sepeda sampai di rumahnya, apalagi rumahnya masih cukup jauh dari sini. Untuk motornya itu tak masalah, Prilly bisa menyuruh orang di rumah untuk mengambilnya dan ia bisa menitipkan sebentar kepada pedagang gado-gado tak jauh dari tempat mereka berdiri.

"naik di sepeda lo?," Ali mengangguk sebagai jawabannya. Prilly nampak ragu, ia menatap sejenak sepeda Ali, "ya udah deh....", kemudian ia naik ke sepeda Ali dengan kaki yang menjuntai ke samping.

Jantung Prilly rasanya mau copot, di belakangnya Ali mengayuh sepeda dan hembusan nafas Ali bisa Prilly rasakan di kepalanya. Ia berusaha menetralkan detak jantunhnya yang berdegub dua kali lebih cepat.

Aduh, Ali, lo cuma bisa bikin sport jantung kayak gini, batin Prilly. Berkali-kali ia menelan ludahnya susah payah.

Di perjalanan, mereka sama-sama diam tak ada yang membuka suara. Ali sibuk mengayuh sepedanya sedangkan Prilly sibuk menetralkan detak jantungnya, Prilly mendongak menatap wajah Ali yang sudah penuhi oleh keringat yang bercucuran di dahi serta pelipisnya, ingin rasanya Prilly mengelap keringat di pelipis Ali dan di dahi Ali tapi itu tak mungkin.

Si Cupu Pujaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang