Part 17

827 103 57
                                    

WWF 17

Sejak kejadian Shilla pergi 'kencan buta' bersama Mocha dan Latte, Cakka jadi semakin sering menghubungi Shilla, bahkan dalam sehari Cakka bisa menghubunginya sampai 5 kali.

"Lo dimana?" tanya Cakka ketika ia menghubungi Shilla siang itu.

"Di rumah," jawab Shilla.

Mereka hanya berbincang-bincang tidak penting dan berakhir setengah jam kemudian.

Cakka menghempaskan tubuhnya diatas kasur, memang tidak mudah ketika dua orang menjalani hubungan jarak jauh, bahkan ketika kita yakin kita dapat bertahan dan segalanya akan baik-baik saja ada saja hal-hal yang membuatnya jadi terasa sulit.

Cakka memejamkan matanya sejenak, ia tidak tau apa yang sebenarnya Shilla lakukan tapi dengan jarak yang terbentang membuatnya benar-benar frustasi.

Cakka menerawang jauh sebelum ia dan Shilla seperti sekarang, sebisa mungkin Cakka selalu berusaha menghindari Shilla namun sekarang ia berharap gadis itu tepat berada dihadapannya. Cakka mengerti sekarang, seberapa pentingnya Shilla  baginya, seberapa jauh ia jatuh untuk gadis itu, nyatanya Shilla adalah salah satu yang ingin ia perjuangkan hingga nanti, hingga jauh di hari-hari kemudian.

Ponsel Cakka berdering, ia langsung membuka matanya untuk menerima panggilan dari Papanya itu.

"Ya, Pa?"

"Kamu dimana? Bisa anter berkas Papa yang diatas meja kerja Papa?"

"Hmm,"

"Tolong anter ke kantor Papa,"

Setelah menutup panggilan itu Cakka langsung berdiri dari tempat tidurnya.

"Kamu mau kemana?" Mamanya yang berada di ruang keluarag bertanya pada Cakka begitu melihat putranya itu berjalan melewatinya.

"Ke kantor Papa," jawab Cakka singkat.

"Kapan kamu ujian masuk universitas?" tanya wanita paruh baya itu.

Cakka melirik Mamanya, "lusa," jawabnya singkat.

"Bisa nggak kamu bicara lebih panjang sama Mama? Mama nggak ngerti lagi, kenapa kamu terus-terusan buat Mama merasa kalau Mama ini punya kesalahan besar,"

Cakka yang saat itu sudah hendak pergi keluar rumah akhirnya memandang Mamanya. "Bukannya Mama hanya perduli tentang berapa nilai Cakka? Atau kapan Cakka ujian masuk universitas?"

"Maksud kam---"

"Cakka pergi,"

Cakka meninggalkan rumah setelah percakapannya dengan Mamanya yang 'sedikit' menguras emosinya. Moodnya yang sedang tidak stabil membuatnya mudah terpancing untuk menaikkan satu oktaf nada bicaranya.

Ini pertama kali ia berkata seperti itu pada Mamanya, pertama kali juga Mamanya mempertanyakan kenapa ia selalu tidak banyak bicara pada Mamanya dan sekarang Cakka malah terkesan seperti seorang yang tidak tau diri karena bersikap seperti itu pada orang yang mengadopsinya.

Cakka tiba dikantor Papanya saat pria paruh baya itu sedang meeting Cakka hanya menunggu diruang tunggu untuk beberapa saat hingga Papanya datang.

"Sudah lama nunggu?" tanya Bayu -Papa Cakka- begitu menemuinya.

"15 menit," jawab Cakka mengkira-kira berapa lama ia menunggu Papanya.

"Nanti malam Papa ada acara dinner dengan Bos Papa, Papa mau kamu yang temeni Papa,"

Cakka mengangguk setelah Bayu menerima berkas mapnya.

"Kamu akan ketemu dengan Sharon anak Bos Papa, tolong bersikap baik ke dia,"

Cakka hanya mengangguk tak bersemangat. "Pertemuan ini bisa aja menentukan masa depan kamu," sambung Bayu.

Where We FellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang