"Kita bisa ketemu di Warung Kopi?" kataku saat di telepon.
"Kapan?"
"Sekarang!" aku masih menggenggam erat gagang telepon rumahku. Tubuhku terasa lemas semua.
"Ada apa?"
"Aku ingin ketemu. Ada hal yang ingin aku bicarakan." dia selalu begitu, memperpanjang percakapan dan menyita banyak waktu.
"Baik, aku segera kesana."
"Aku tunggu kamu."
Aku menjauhkan gagang telepon itu dari telingaku. Menenangkan perasaanku. Dan bersiap untuk menemuinya.
°°°°°
"Kamu, sudah lama menunggu?" dia menarik kursi di depanku.
"Enggak, aku juga baru sampai."
"Kamu ada apa ajak aku kesini, biasanya kamu cukup bilang di telepon."
Aku menarik nafas panjang, mencerna kalimat yang akan ku keluarkan.
"Kamu enggak pesan kopi dulu?"
"Oh, iya.." dia menoleh mencari pelayan, "Mbak.."
"Silahkan, Mas." pelayan itu menyerahkan buku menu.
"Mochacinno Latte tambah Karamel, Mbak." kataku sebelum dia membuka buku menu itu.
"Kamu kebiasaan deh." dia tersenyum sambil mengembalikan buku menu.
"Satu saja?" pelayan itu bertanya lagi.
"Satu lagi, Vanilla Latte hangat." dia yang menjawab.
"Di tunggu ya Mbak, Mas." pelayan itu melesat.
"Aku jadi takut nanti kamu hilang." kataku.
"Pikiran kamu kejauhan." dia terkekeh.
"Kamu bisa janji?"
"Bisa kok, kita sudah akrab. Aku janji."
"Kita baru satu bulan kenal. Apa aku bisa bilang kalau kita dekat?"
Dia tersenyum. Lalu diam. Aku tidak berkata lagi, kita hanya butuh diam, hingga aroma kopi kesukaanku dan dia datang.
"Terima kasih." kataku.
"Kamu sudah hafal kopiku." dia memecahkan keheningan.
Aku tersenyum, "kamu juga hafal kopiku."
"Hal apa yang kamu mau bilang sama aku?"
Aku menghentikan aktivitas meminumku.
"Aku ingin jujur."
"Tentang?" dia menatapku intens. Membuat tubuhku menjadi tegang.
"Aku bawa rileks saja." aku diam. Dia masih menatapku intens. Aku menyeruput kopiku lagi.
"Aku enggak tahu setelah ini kamu akan pikir aku kayak gimana, aku juga enggak tahu nantinya sikap kamu ke aku akan gimana, mungkin dari selama kita dekat, atau dari cara telepon aku ke kamu, kamu sudah bisa tebak gimana perasaan aku ke kamu, enggak usah di perjelas lagi ya, aku mau kamu tahu ini dari aku sendiri, bukan orang lain atau siapa, aku berusaha buat jujur, dari kita ketemu di bengkel aku sudah naksir sama kamu, hanya ya begitu, aku enggak punya keberanian buat dekatin kamu. Sampai akhirnya satu bulan kenal, aku beranikan diri buat dekatin kamu, aku sudah terlanjur nyaman sama kamu, ya pokoknya aku naksir sama kamu, gimana kamu ke aku itu urusan kamu, aku cuma naksir, suka, suka sama kamu, ya sudah itu saja." tubuhku menjadi tegang, aku kembali menyeruput kopiku.
"Aku bingung harus jawab apa." dia terkekeh.
"Aku enggak minta jawaban."
"Iya tahu, enggak apa-apa kalau kamu suka aku."
Aku kayak enggak butuh kata itu.
"Kamu enggak menyesal kenal aku?"
"Enggak kok."
"Aku yang menyesal kenal sama kamu." aku terkekeh.
"Kok menyesal?"
"Kalau kita enggak satu tempat, pasti enggak akan kayak gini." tubuhku masih lemas.
"Iyaa." dia terkekeh.
"Kamu enggak ngerasa jijik atau risih karena aku ungkapkan perasaan lebih dulu?"
"Enggak ah, malah menurutku itu keren." dia tersenyum. Meyeruput kopinya kembali.
Aku beberapa kali menyeruput kopiku hingga hampir habis. Tubuhku masih butuh oksigen yang lebih banyak.
"Apa yang keren?"
"Ya, keren kamu unik saja."
"Apa setelah ini kamu akan menghindar?"
"Pikiran kamu kejauhan." dia mengakhiri pertemuan ini dengan semyuman dan tatapan intensnya.
°°°°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas
Short Story{Selesai} "Kamu tahu perasaanku saja, cukup." -Aku. "Malah menurutku kamu keren." -Dia. "Laki-laki akan luluh saat perempuannya berjuang!" -Temanku. --- Aku belajar dari dia, bahwa hak sebagai perempuan tidak menghalangi untuk mengungkapkan perasaan...