Akhir Dari Sebuah Pengharapan, Penantian, dan Perjuangan

10 0 0
                                    

"Lalu?"

"Apa?"

"Lalu kenapa kamu berakhir dengannya?" tanyaku ragu.

"Aku muak dengan tingkahnya, aku ini pemain bass, aku punya band, vokalis bandku perempuan. Kami satu tim, harus bekerja sama agar mendapat hasil terbaik. Tetapi, dia, mantanku, dia mencurigaiku setiap saat, saat aku menghilang sebentar, dia mencurigaiku bermain di belakangnya, dia mencurigaiku dengan vokalis bandku. Aku muak, dan aku pikir, hubungan dengan rasa curiga itu harus segera berakhir. Aku yang memutuskannya." dia diam. Diiringi aroma kopi yang berjalan ke meja kami.

"Terima kasih, Mbak." katanya pada pelayan itu.

Aku masih diam, ku pikir masih banyak yang ingin dia bicarakan.

"Lalu, dia memberontak bahwa vokalis bandku sebab kandasnya hubungan kami. Akupun ikut memberontak, ku bilang, sebuah hubungan yang selalu dipenuhi rasa curiga, enggak akan baik jika dipertahankan. Hubungan yang baik harusnya saling mengerti satu sama lain, saling mendukung, dan kuncinya saling percaya. Kamu yang buat aku begini, kamu menghilangkan semua rasa yang aku simpan selama ini, lain kali, sebelum kamu jatuh cinta, bermainlah dulu dengan logika dan egoismu, supaya kamu bisa memahami sampai mana kamu bisa menjalani hubungan itu. Saat itu, dia menangis, aku dengan rasa kesal bercampur kasihan, ku tinggal dia sendirian di taman. Tapi aku masih memperhatikan dia menangis dari balik pohon beringin. Tiba-tiba ada seseorang laki-laki datang menemuinya, dia merangkul mantanku, kamu tahu respon mantanku?" dia berhenti menatapku makin lekat.

"Mantanku memeluknya, saat itu juga aku semakin muak dan menyesal telah kasihan dengannya. Besoknya, ku lihat postingan dia bersama laki-laki lain, yang ku pikir adalah laki-laki yang merangkulnya kemarin. Dan hari itu, aku enggak menyesal sama sekali memutuskannya, ku pikir dia yang ingin hubungan ini segera berakhir dengan cara mencurigaiku terus-menerus." dia berhenti. Lalu meminum Mochacinno tanpa Karamel itu.

"Kopimu tanpa Karamel?"

"Aku enggak butuh Karamel, aku butuh kamu."

"Maksudmu?" jantungku berlarian.

"Aku sempat putus harapan karena perkataanmu."

"Perkataanku yang mana?"

"Kamu bilang, perasaanmu bukan urusanku, padahal aku sangat butuh itu."

"Maksudmu apa, sih, aku enggak mengerti."

Dia tersenyum, "jika aku menyukaimu, merindukanmu juga, kamu akan percaya?"

Aku diam seribu bahasa. Perkataan yang keluar dari mulutnya mampu membuat tubuhku tak berjalan konstan. Dadaku seperti diserang perasaan yang ingin meluap saat itu juga.

"Kamu diam? Jangan sampai diammu memutuskan harapanku untuk kedua kalinya."

"Maksud pertemuanmu dengan mantanmu apa?"

"Baik akan ku jelaskan secara detail, agar enggak terjadi kesalahpaham antar kamu dan aku." dia menghela napas panjang, "jadi, kemarin dia memaksaku mengajak ketemu, padahal saat ini dia sedang dekat dengan laki-laki lain. Aku terus menolak ajakannya, terus tiba-tiba dia meneleponku, lalu ku angkat dan ku bilang, kita sudah berpisah, kamu mengerti enggak sih? Ternyata yang meneleponku adalah Ibunya, dia tahu kelemahanku adalah Ibunya, saat itu juga ku bilang iya iya saja. Lalu tadi pagi kami ketemu, dan aku enggak tahu kalau kamu juga akan ke alun-alun. Sebenarnya aku sudah melihatmu dari kamu memarkirkan motor bersama temanmu. Lalu aku lihat kamu membeli minum, itu sebabnya aku menghampirimu, lalu tiba-tiba mantanku menyusul, aku kesal, padahal dia berjanji untuk menungguku. Kamu tiba-tiba pergi, padahal aku punya kesempatan emas pagi tadi, tapi kamu menghancurkannya, kamu pergi dan enggak kembali, padahal aku ingin kamu ikut lari denganku, aku muak dengan situasi itu. Kamu tahu apa yang terjadi setelah kamu pergi?" dia diam. Lagi-lagi menatapku lekat.

"Aku bilang ke dia, besok kamu jangan menggangguku lagi, besok aku ini menjadi miliknya, aku menunjuk ke kamu, saat kamu jalan sendirian. Dia diam enggak gubris perkataanku."

Jantungku benar-benar berkejaran saat ini. Entah ini perasaan sesak atau bahagia, aku tidak tahu.

"Kamu menjadikanku pelarian agar dia cemburu?" tanyaku spontan tanpa disaring lebih dulu.

"Sudah kuduga, kamu akan mematahkan harapanku."

"Maksudmu?"

"Kamu masih enggak percaya dengan perasaanku. Sebenarnya saat kamu bilang rindu, mulutku memang enggak membalas, tetapi hatiku terus berkata, aku juga rindu, ku yakin kamu enggak akan dengar. Kamu tahu selama dua bulan kemarin, aku lari dan mengelak perasaan ini, aku selalu menghindar jika bertemu denganmu, padahal ada yang harus kamu tahu, jantungku enggak bisa berjalan senormalnya, aku menunduk bukan karena aku malu dengan temanmu, aku hanya enggak bisa menerima tatapan matamu yang nantinya akan menambah perasaan ini. Padahal setelah kejadian dengan mantanku, ku pikir enggak ada yang bisa membuatku jatuh cinta lagi, dan saat itu kamu menghancurkannya karena memulai semuanya yang sekarang kita jalani. Aku semakin terpuruk saat kamu mengungkap isi hati kamu lebih dulu, aku benar-benar malu sama diriku sendiri. Aku terlalu takut untuk jatuh cinta lagi. Aku terus-menerus mengelak perasaanku ini, sampai saat ini, dan aku mengaku, aku kalah, aku benar-benar jatuh cinta padamu." dia diam sambil menyeruput kopinya.

"Lalu kenapa selalu aku yang memulai?"

"Aku terlalu takut jatuh cinta lagi." katanya.

"Kamu enggak percaya denganku, sampai kamu bersusah payah mengelak seperti itu?"

"Kamu pasti pahamlah, aku baru saja merasakan jatuh sejatuh-jatuhnya."

"Iya, aku paham." kataku sambil menyeruput kopiku.

"Jadi kamu percaya denganku, dengan perasaanku?" ku lihat matanya berbinar.

Aku tersenyum lalu mengangguk pelan.

"Will you be mine?"

Jika ini mimpi, aku tak akan pernah mau bangun.

"Hei." dia melambaikan tangannya di depanku.

Aku malu.

"Ini bukan mimpi?"

"Katamu, kamu percaya dengan perasaanku?"

"Aku mau." lalu aku tersenyum.

"Kamu mengubahku malam ini."

Aku mengeryit, "mengubah bagaimana?"

"Aku yang di kenal cuek, menjadi talk active seperti ini."

Aku hanya membalas senyum. Dan malam ini adalah malam terindah sepanjang perjalanan hidupku.

"Besok kamu temaniku!"

"Kemana?"

"Ikuti saja!"

Terima kasih, biarkan Vanilla Latte dan Mochacinno tanpa Karamel ini menjadi saksi kebahagiaanku malam ini.

°°°°°°°

BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang