Satu minggu setelah kejadian di Warung Kopi,
"Aku merasa dia berubah." ucapku pada temanku, saat setelah aku bertemu dia di kantin.
"Dia senyum sama kamu." kata temanku.
"Dia hanya menjaga sikap denganku. Dia itu baik. Hanya saja sebagian orang melihat sisi buruknya, banyak yang berpendapat dia itu cuek. Aku enggak setuju."
Temanku tersenyum. "Kamu yang terlalu baik menilai dia."
"Kamu enggak merasakannya..."
"Nanti, kalau aku rasakan. Aku bisa kayak kamu, bisa jatuh cinta sama dia." temanku tertawa.
"Ih, kamu apa sih, aku serius."
"Kenapa kamu bisa merasa dia berubah?" aku duduk di kursi taman.
"Aku merasa dia menghindar dari aku."
"Contohnya?"
"Kemarin, saat aku ke kamar mandi. Aku lihat dia. Dia juga lihat aku, dia senyum sama aku. Setelah itu, dia hanya nunduk, dia kayak menghindar dari tatapanku."
"Mungkin dia enggak biasa menatap seseorang."
"Aku takut dia menghindar dariku."
"Ajak dia ketemu, kalian bahas masalah ini."
"Aku jadi takut menghubungi dia."
"Kenapa harus takut? Kamu saja sudah berani mengungkapkan semuanya. Aku yakin dia mau ketemu sama kamu."
"Nanti, kalau dia enggak mau?"
"Ajak dia sampai mau, aku yakin laki-laki akan luluh saat perempuannya berjuang!"
"Akan ku coba deh."
"Aku suka semangat kamu."
"Alasanmu selalu itu kalau aku ikuti maumu." aku mencibir. Temanku tertawa.
Aku tertawa bersama temanku. Menikmati angin yang semilir menerpa wajahku. Aku harus berani. Aku harus berjuang. Aku ingin dia.
"Kamu pasti bisa!" kata temanku sebelum akhirnya aku melesat pergi dari taman.
°°°°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas
Short Story{Selesai} "Kamu tahu perasaanku saja, cukup." -Aku. "Malah menurutku kamu keren." -Dia. "Laki-laki akan luluh saat perempuannya berjuang!" -Temanku. --- Aku belajar dari dia, bahwa hak sebagai perempuan tidak menghalangi untuk mengungkapkan perasaan...