Harapan Yang Membesar

16 0 0
                                    

"Gimana denganmu?" temanku datang lagi. Aku mengenal dia dari kami Sekolah Menengah Pertama, di kelas 8. Hanya saja sekarang, aku dan dia berbeda jurusan. Dia mengambil Teknik Komputer dan Jaringan, sedangkan aku Akuntansi.

"Dia menghampiriku tadi."

"Terus gimana lagi?"

"Jangan disini ah, nanti ada yang enggak suka aku bahas dia."

"Aku mengerti."

Aku ke kantin bersama temanku, "dia datang, tadi."

"Terus?"

"Dia sudah melihatku dari kelasnya, tapi dia malu sama kamu."

"Kok malu sama aku, jadi aku ini penggangu kalian begitu?"

"Bukan kok. Kamu temanku. Tapi kalau buat dia, mungkin kamu pengganggu."

"Ih."

Aku tertawa.

"Dia kayak kasih aku harapan."

"Seperti apa?"

"Tadi, dia rela enggak ikut pelajaran untuk temani aku di taman."

"Dia memang malas kali. Dia kan anak teknik."

"Ih, kamu temanku bukan sih?"

"Aku temanmu, justeru itu enggak ingin buat kamu berharap dalam ketidakpastian."

Aku diam. Mencerna kalimat temanku.

"Aku enggak bermaksud untuk meruntuhkan kepercayaanmu padanya." temanku memegang pundakku, seperti memberi semangat untukku.

"Semenjak aku kenal dia, aku jadi manusia yang mudah rapuh. Aku kayak kehilangan jati diriku."

Aku menunduk. Berusaha untuk tidak menangis di keramaian kantin.

"Kamu jangan gitu. Kamu masih kayak kamu kok. Hanya saja harapan di hidupmu sudah lebih besar, risiko kamu juga akan semakin besar. Kamu harus siap itu."

"Aku persiapkan itu."

"Itu baru temanku."

"Memang selama ini, aku siapa kamu?"

Dia terkekeh, "kamu kapan akan ke tempat PKL?"

"Kayaknya minggu depan."

"Kamu barang dia saja." temanku terkekeh.

"Maksudmu?"

"Kamu mengertilah maksudku."

"Aku harus bilang apa sama dia?"

"Kamu bilang, kamu malas bawa motor, kamu ingin ikut dengannya."

"Kalau dia enggak mau gimana?"

"Dia pasti mau, percayalah denganku."

"Lagi-lagi ku ikuti saranmu."

"Kamu memang temanku."

"Terserah kamu lah." aku mendengus.

°°°°°°

BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang