Aku menggenggam erat gagang telepon rumahku, ku ikuti saran temanku untuk mengajaknya bertemu lagi. Ku hentakkan kakiku untuk menghilangkan rasa gemetar tubuhku. Hingga akhirnya teleponku di angkat olehnya.
"Ada apa?"
"Aku ingin ketemu denganmu, di Warung Kopi."
"Kapan?"
"Sekarang!"
"Aku enggak bisa kalau sekarang, aku ada rapat band."
"Aku ingin bicara denganmu."
"Nanti saja, aku ingin berkumpul sekarang, tadi ketua bandku sudah perintah."
"Baiklah."
"Nanti akan ku telepon lagi."
"Aku tunggu kamu."
Ku jauhkan telepon itu dari telingaku. Sesaat, ku dudukkan tubuhku di kursi. Sedikit sesak menerima penolakannya. Sebelum kejadian di Warung Kopi kemarin, dia tak pernah menolak ajakanku. Atau mungkin memang kenyataannya dia menghindar dariku.
Ku kembali berdiri, meraih gagang telepon untuk menghubungi temanku.
"Gimana?"
"Dia beralasan kalau ada rapat band."
"Kamu harus percaya."
"Kenapa?"
"Kalau dari hal kecil kayak gini aja kamu enggak percaya, gimana kamu akan lanjut sama dia."
"Aku akan percaya."
"Ya sudah, lalu dia bilang apa lagi sama kamu?"
"Dia bilang, nanti dia akan telepon lagi."
"Kamu tunggu saja, kalau dia memang telepon kamu, berarti dia enggak ingkar. Kamu jangan menyerah, kamu harus semangat. Aku orang pertama yang akan bantu kamu, saat kamu terluka."
"Terima kasih."
"Ya sudah, ada hal yang ingin kamu bilang lagi?"
"Kayaknya enggak deh."
"Ok, kamu tunggu dia saja, ya. Aku yakin dia enggak ingkar."
"Iya.."
°°°°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas
Historia Corta{Selesai} "Kamu tahu perasaanku saja, cukup." -Aku. "Malah menurutku kamu keren." -Dia. "Laki-laki akan luluh saat perempuannya berjuang!" -Temanku. --- Aku belajar dari dia, bahwa hak sebagai perempuan tidak menghalangi untuk mengungkapkan perasaan...