"Dia seperti menghindariku."
"Maksud kamu? Bukankah kamu kemarin berdua dengannya ke pabrik?"
"Setelah kejadian itu dia berubah."
"Memangnya kenapa? Harusnya kamu bahagia berdua dengannya dibawah hujan." temanku merangkul.
"Aku memang berada dibawah hujan. Seperti yang mereka bilang, itu indah. Aku bisa merasakan hangat sekaligus dingin. Tapi semua berubah. Aku merasakan itu."
"Atau matamu juga hujan saat itu?" aku tahu, temanku berusaha menghibur.
"Ceriaku hilang."
"Oh, ayolah. Kamu enggak bisa terus-menerus seperti ini. Kalau memang kamu enggak menemukan apa yang bisa membuat dia bahagia, berhentilah. Ku mohon, aku orang yang paling sakit melihat temanku menjadi pendiam."
"Kemarin aku bahagia, bahagia yang belum pernah aku rasakan. Aku merasa dia seperti memperjuangkanku, aku merasa dia merespon kemauanku. Saat aku disuruh mampir oleh nenekku kerumahnya, ku ajak dia, dia mau. Tapi seperti keberatan atas ajakanku. Aku sepanjang jalan hanya diam. Hanya deru motor yang mengisi keheningan aku dengannya. Rasanya ingin ku peluk tubuh itu, tapi aku enggak berani sama sekali. Aku takut menggangu konsentrasi menyetir dia. Dengan keheningan itu, aku sudah bahagia. Sesekali aku bertanya, namun diam lagi. Kamu tahukan kemarin sore hujannya deras, aku diajak dia untuk meneduh di toko baju, hanya sepatah-dua kata yang dia keluarkan dari bibirnya yang mungil. Tapi aku merasakan sesuatu yang hanya bisa aku rasakan tanpa harus dijelaskan. Sekali lagi, aku bahagia. Saat itu, hujannya masih ada, cukup banyak debit air yang turun. Aku meminta dia agar mengantarkanku ke rumah bibiku saja, dekat juga dengan rumahnya. Tetapi, dia malah ingin mengantarku ke rumahku, aku boleh menganggapnya itu perjuangan? Dia langsung pulang sore itu, padahal hujan yang turun masih banyak, aku saja sampai basah kuyup. Kamu tahu? Dia meneleponku, dia bilang, maaf ya, kamu jadi basah kuyup. Lalu ku bilang, harusnya aku, kamu harus kehujanan seperti itu. Aku mendengar dia terkekeh, setelah itu dia langsung menutupnya. Padahal aku masih merindukan suara serak itu." aku tertawa, ku lihat temanku memerhatikan setiap kata-kataku.
"Lalu kenapa kamu malah merasa kalau dia berubah?" temanku sepertinya mulai bingung.
"Hei, lo kenapa enggak praktik lab?"
Temanku menoleh ke arah sumber suara itu. Dia laki-laki.
"Aku malas." jawab temanku ala kadarnya.
"Tadi lo dicari Pak Sumanto."
"Ih, pergi sana. Ganggu saja."
"Gue bilang ke Bunda lo ya, kalau lo suka bolos praktik."
"Tukang adu."
Laki-laki itu pergi. Raut temanku menjadi kesal.
"Dia itu rewel banget, apa-apa harus di turutkan. Kalau aku enggak mau, Bundaku jadi ancaman." temanku kesal.
"Bukankah dari dulu temanmu memang seperti itu?"
"Sekarang lebih parah, ya sudah kamu jawab pertanyaanku!"
"Pertanyaan?" aku mengeryit.
"Kenapa kamu merasa dia menghindar?"
"Kamu tahu? Setelah kejadian itu, teleponku enggak diangkat. Saat bertemu, dia seperti langsung mengalihkan, tidak mau melihatku."
"Aku enggak mau kasih kamu saran atau harapan yang buat kamu mempertimbangkan semuanya. Itu hakmu, terserah kamu, aku hanya ingin pesan sama kamu, kalau kamu enggak menemukan apa-apa yang buat dia bahagia atasmu, berhentilah, gunakan waktumu untuk hal yang berguna, jika nanti semua harus kandas, kamu jangan bersedih, sebab hal seperti itu sudah melekat saat mengalami jatuh cinta. Kamu hanya butuh kuatkan hatimu untuk nantinya menyikapi itu."
"Terima kasih, kamu memang pendengar terbaikku."
"Iya, sampai-sampai aku bolos praktik." temanku terkekeh.
"Ih, itukan kemauanmu."
Kami tertawa.
°°°°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas
Short Story{Selesai} "Kamu tahu perasaanku saja, cukup." -Aku. "Malah menurutku kamu keren." -Dia. "Laki-laki akan luluh saat perempuannya berjuang!" -Temanku. --- Aku belajar dari dia, bahwa hak sebagai perempuan tidak menghalangi untuk mengungkapkan perasaan...