"Aku ingin meneleponnya." ucapku kepada temanku melalui telepon.
"Ya sudah telepon."
"Kok kamu enggak melarangku sih?"
Dia tertawa, "Ha ha ha, untuk apa?"
"Biasanya kamu selalu melarangku tentang dia."
"Memang?"
"Aku yang merasakannya."
"Ya sudah, sekarang kamu telepon, aku tahu kamu merindukannya."
"Bagaimana dengan kejadian pagi tadi?"
"Kamu yakin perempuan itu kekasihnya?"
"Aku lupa cerita denganmu. Perempuan itu mantan kekasihnya."
"Jadi, dia?"
"Itu yang membuatku menangis tadi."
"Jadi kamu berpikir mereka masih ada hubungan?"
"Bisa saja, mereka belum lama putus."
"Memang siapa yang memutuskan lebih dulu?"
"Kata temanku, dia."
"Berarti kamu masih punya harapan, bisa saja mantan kekasihnya yang mengajak bertemu, iya bukan?"
"Bisa saja sih," kataku sembari menerawang ke pintu kamar.
"Ya sudah, kalau kamu rindu, telepon dia, kalau perlu, temui."
"Ih."
"Hei, aku serius. Kamu perjelas dengannya, temui dia."
"Hm. Baiklah."
"Kamu--"
"Kamu memang temanku." kataku memotong ucapannya, karena aku mengetahui arah ucapan itu.
"Sampai kamu hafal. Ya sudah, semoga berhasil."
"Terima kasih."
"Iya."
Lalu aku mengalihkan ke nomor telepon dia.
"Halo?" ku dengar suara khasnya.
"Iya." ku jawab ragu.
"Kamu rindu aku?"
Aku terdiam sesaat. Dia sudah hafal sekali dengan tingkahku.
"Aku ingin ketemu."
"Kenapa kamu tadi menghindariku?"
"Ku pikir, jika aku disitu, akan mengganggu kalian." kataku ragu-ragu.
Dia tertawa, "Ha ha ha, aku pikir kamu sudah tahu tentang perempuan itu."
"Aku sudah tahu, dia mantan kekasihmu kan?"
"Kamu benar sekali, dan ku pikir kamu juga mengerti pertemuan tadi."
"Aku ingin ketemu."
"Baik kita ketemu di Warung Kopi sekarang."
"Bandmu enggak ada urusan?"
"Berhentilah kamu membahas urusan bandku. Temui aku sekarang."
"Maaf."
"Baiklah, sampai ketemu."
Lalu sambungan terputus.
°°°°°°°
"Pesananmu sedang dibuat."
Aku mengeryit bingung, "memang aku pesan apa?"
"Vanilla Latte hangat?"
"Padahal aku ingin yang dingin malam ini."
"Enggak bagus buatmu."
"Perhatian sekali kamu." kataku datar.
"Bagaimana pendapatmu tentang perempuan yang bersamaku pagi tadi?" dia menatapku lekat.
"Dia cantik." kataku berusaha menahan sesak.
"Memang, justru itu aku pernah menyukainya."
"Lalu?" dadaku bertambah sesak.
°°°°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas
Short Story{Selesai} "Kamu tahu perasaanku saja, cukup." -Aku. "Malah menurutku kamu keren." -Dia. "Laki-laki akan luluh saat perempuannya berjuang!" -Temanku. --- Aku belajar dari dia, bahwa hak sebagai perempuan tidak menghalangi untuk mengungkapkan perasaan...