Bye

149 4 3
                                    

Aku dan adikku selalu bertengkar. Seperti sekarang ini. Kami berebut selimut. Sampai Umi pun menasehati, menegur. Bahkan, sampai berceramah panjang lebar.

Sekarang aku sedang berdiri di belakang Aisyah, melihatnya mengetik sesuatu di microsoft word. Hei! Itukan karyaku. Dasar plagiat! Plagiat itu adalah orang yang tak punya inspirasi lalu, mengcopas karya orang lain dan mengaku bahwa itu karyanya.

"Hei! Itu karyaku, kenapa kamu copas?" teriakku geram

Aisyah hanya melirikku lalu fokus melanjutkan mengetik lagi.

"Siapa bilang? Aku yang mengetik, jadi ini karyaku," sanggahnya

Huuh! Benar-benar menyebalkan!

"Tapi, kamu itu mengcopy karyaku, Aisyah yang jeleek.. Dasar PLAGIAT!"

Aku meninggalkannya dengan kesal. Bagaimana tidak? Seandainya ada orang yang mengambil karyamu, lalu mengaku-ngaku bahwa dia yang membuatnya? Sakit hati bukan? Tapi, aku bersyukur karna ada yang mengcopy karyaku. Berarti itu tandanya, karyaku bagus.

Walau pun kami sering bertengkar. Tapi, kadang-kadang kami akur. Seperti saat ini, Aisyah curhat padaku, tentang pacarnya.

"Kak Sarah, ada yang nembak aku tadi di sekolah,"

"Siapa?" tanyaku

"Mas Febri, Kak," jawabnya

Ooh.. Febri, dia adalah adik kelasku. Memang dia lumayan tampan, putih.

"Terus kamu terima?"

"Yaiyalah! Kan aku udah naksir lama sama mas Febri," sahutnya bersemangat

Kini, ide gila muncul di benakku. Bagaimana kalau aku adukan pada Abi dan Umi? Pasti menyenangkan melihat Aisyah gelabakan. Haha.. sebagai imbalan mengcopy karyaku.

"Aku aduin ke Abi, ah.." ucapku sambil berlalu meninggalkannya

Aku berjalan menuju ruang keluarga, menghampiri Abi dan Umi. Lalu aku menceritakan semuanya pada Abi dan Umi tentang Aisyah.

"Benar itu, Aisya?" tanya Abi

"Benar, Abi," Aisyah menjawab sambil menunduk

"Aisyah, di dalam agama Islam tidak ada istilah pacaran. Apalagi, kamu masih kelas 7. Jika umurmu sudah cukup. Bolehlah. Tapi, bukan pacaran melainkan ta'aruf, mengerti?" nasehat Umi lembut

"Mengerti, Umi."

"Aisyah, putuskanlah pacarmu," tutur Abi

Akhirnya, Aisya memutuskan pacarnya dengan berat hati, setengah hati. Aku tersenyum penuh kemenangan. Itulah karma

Setelah shalat ashar. Abi mengantarkanku ke rumah Nenek di kota. Karna aku bersekolah di sana. Perjalanannya tidak sampai satu jam. Aku duduk di jok motor, tepatnya di belakang Abi. Sebelum meninggalkan area rumahku, aku melihat Aisya di depan pintu sambil menatap kepergianku.

Aku mengacungkan jari tengah dan berkata fuck tanpa suara. Aisyah pun juga begitu. Tapi, tanpa sepengetahuan Abi tentunya. Bisa-bisa digantung kami.

Sudah satu minggu aku di rumah Nenek. Lalu aku mendapat telepon dari Umi. Umi bilang bahwa Aisyah besok masuk pesantren. Tentu aku juga ingin masuk pesantren.

Besoknya, aku duduk di bangku sekola. Mengingat percakapanku dengan Umi malam tadi. Saat istirahat, aku meng-sms Umi. Aku menanyakan apa Aisyah sudah berangkat atau belum. Ternyata, Aisyah sudah berangkat. Seketika, air mataku menetes. Bahkan, aku belum berpamitan pada Aisyah. Terakhir kali aku melihatnya saat aku mengacungkan jari tengah satu minggu yang lalu. Beberapa temanku menanyakan kenapa aku menangis. Tapi, aku menjawab tidak apa-apa.

Akhirnya, hari minggu tiba. Aku pulang ke rumahku dan tak sabar menanyakan Aisyah pada Umi.

"Umi, kenapa Aisyah dipindahkan ke pesantren?" tanyaku tak sabaran

"Kata Aisyah sih, dia mau memperdalam ilmu agama," jawab Umi

"Tapi, Umi. Sarah juga ingin masuk pesantren. Sarah gak mau sekolah SMA, Sarah juga mau memperdalam ilmu agama. Percuma sekolah SMA kalau gak kuliah. Mau jadi apa Sarah nanti? Kalau Sarah masuk pesantren. Setidaknya Sarah punya bekal buat nanti di akhirat," rengekku pada Umi

"Sarah, rezeki itu di tangan Tuhan. Jadi, biar kamu masuk pesantren atau sekolah SMA. Rezeki tetap di tangan Tuhan," nasehat Umi

"Tapikan Umi, setidaknya Sarah dapat ilmu agama."

Umi tidak menjawab ucapanku lagi. Bukan pesantren atau sekolah SMAnya yang aku permasalahan. Tapi, Aisyahnya. Saat itu, Umi pernah bersumpah kalau aku dan Aisyah tetap bertengkar. Kami akan terpisah samudra dan gunung-gunung. Aku hanya takut, kalau aku dan Aisyah tak pernah berjumpa lagi. Semoga saja, sumpah Umi tak jadi kenyataan. Tapi, itu mungkin mustahil.

Besok kita tak akan bertemu seperti biasa.
Tak lagi bisa menatap wajah jelekmu.
Tak lagi bisa bersenda-gurau seperti yang kita lalukan di hari-hari sebelumnya.
Pasti aku merindukan pertengkaran kita.
Plagiatanmu terhadap beberapa karyaku.
Kenakalanmu.
Curhatanmu.
Tentang kita berlatih bersama.
Tentang kejahilanku terhadapmu.
Tentang aku mengadukan bahwa kau berpacaran kepada Abi.
Kau menyebalkan!
Semuanya..
Pasti aku merindukanmu.
Tuntutlah ilmu sebaik mungkin.
Bye..
Suatu saat pasti kita bertemu kembali.
Aku yakin!
Pasti!

Bye Aisyah.

Alhamdulillah masih punya ide buat bikin satu cerpen lagi.
Tunggu cerpen yang lainnya ya.
Jan lupa vomentnya.

Syukron katsiira☺

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang