Kita?

75 2 0
                                    

Semburat merah menghias indah langit, matahari masih belum siap bersembunyi. Angin sepoi-sepoi menggoyangkan setiap helai daun dan bunga. Suasana tak terlalu ramai sore ini. Jadi aku tidak terlalu sibuk melayani pelanggan. Kamu duduk di tempat favorit kita dengan beberapa buku bacaanmu. Kenapa kamu masih saja suka mengunjungi toko bunga yang menyimpan banyak kenangan?

"Iya, kita yang akan mengurusnya," ucapmu santai lalu meneguk kopi di cangkir yang asapnya masih mengepul, sesekali kamu meniupnya lalu meneguknya lagi.

Bagaimana mungkin kita akan mengurus toko ini bersama-sama lagi? Sedang kamu akan pergi jauh walau raga kita dekat. Kita sudah tidak saling terikat.

"Apa? Kita?" tanyaku heran. Aku berhenti menyemprot bunga Aglonema di atas meja. Lalu berjalan mendekat dan duduk di depanmu menopang dagu sembari menatap matamu yang memang sayu, mata yang selalu memancarkan keteduhan dan kenyamanan, yang mampu membuat siapa pun tenang menatapmu. Itu bagian favorit yang selalu aku suka darimu.

"Iya, kita. Aku dan kamu." kamu santai menjawab, seolah tak pernah terjadi hubungan apa-apa di masa lalu, atau mungkin lidahmu kelu untuk mengaku?
Apa hanya aku yang terlalu mengenang dan sulit melupakan?

Aku menghembuskan nafas lelah, sepertinya aku sudah menyerah dan pasrah. Kamu yang memulai, kamu juga yang mengakhiri. Bagaimana bisa dirimu begitu tega?!
Padahal kita pasangan paling bahagia

"Sejak kapan aku dan kamu menjadi kita?" kata itu terlontar sendirinya dari bibirku. Kamu menatapku sendu, mencoba menjelaskan sesuatu dari tatapan itu.

"Bukan begitu, Fiya. Maksudku ... sejak--"

"Sejak kamu memutuskan hubungan demi dia, kan?" aku memotong kalimatmu, biarkan saja! Aku muak dengan takdir yang memisahkan kita, bolehkah kita kembali bersama? Tanpa ada siapa pun yang terluka. Itu saja yang kuminta!

"Sejak itu kata KITA sudah tidak berarti," lanjutku dengan tenang sembari mengaduk-aduk secangkir kopi dengan lamban. Sejujurnya ini tidak dikatakan tenang, lebih tepatnya aku terlalu tegang.

"Aku dan kamu tidak bisa menjadi kita kalau ada DIA." aku menolehkan pandangan menatap bunga-bunga yang indah merona dengan nanar. Menerawang jauh apa yang akan terjadi bila aku tanpamu, hampa dan kosong. Mungkin wajah ceriaku akan sangat langka ditemui. Matamu menjadi lebih sayu, wajahmu begitu sendu. Mungkin juga hatimu pilu, begitu pun aku.

Kamu menggenggam tanganku erat, terasa hangat! Mencoba menyalurkan kekuatan dari sana. Aku rindu saat kita saling bertautan tangan dengan canda dan tawa, bukan dengan lara yang kamu cipta. Aku segera melepas tangan hangatmu yang selalu aku rindukan akhir-akhir ini.

"Maksudmu Eva?" tanyamu seolah tak paham apa yang sebenarnya menjadi penghalang, memangnya siapa lagi kalau bukan dia, sayang?

Entah kamu luka atau bahagia, tapi kelihatannya kamu selalu baik-baik saja. Atau aku yang salah menerka?
Seolah semua hal yang telah kita lalui bersama hanya rongsokan bekas yang perlu dibuang, diinjak, lalu ditendang dan dilupakan. Tapi bagiku terlalu sayang!

Kamu hanya diam membisu, aku tau. Kamu pasti sulit menerima keputusan keluargamu yang tak dapat diganggu gugat. Ini pemaksaan, mengharuskan kamu hidup satu atap dengan seseorang yang tidak kamu suka bahkan cinta, dan membuat dua hati di sini terluka. Mereka jahat!

"Syakir, aku tunggu," ucapku tak mengindahkan pertanyaanmu tentang dia

"Tunggu apa?" tanyamu bingung melihat perubahan raut wajahku

"Apalagi kalau bukan undanganmu." aku tersenyum manis tanpa menunjukan sinis. Mencoba tegar saat kenyataan menampar

Sudah lelah aku dan pemikiran saling bergulat, antara mengikhlaskan atau mempertahankan. Tapi, sepertinya aku hanya akan menunggu sambil tersenyum palsu. Mencoba turut bahagia dalam duka

"Fiya aku--"

"Sudahlah, hubungan kita telah usai." ucapku seraya berdiri menatapmu pilu, aku tak lagi ingin mendengar kekatamu. Mataku mulai memanas, sebentar lagi akan turun butiran itu, air yang selalu kamu benci ketika mengalir dari mataku. Aku tak sanggup melihatmu menghapuskannya untuk kesekian kali. Biarkan kali ini aku menghapusnya sendiri tanpa perlu jari jemarimu.

"Syakir, terima kasih atas luka yang kamu torehkan, sayang."

Aku pergi dengan air mata yang mulai mengalir. Meninggalkanmu seorang diri yang duduk mematung dengan pemikiran yang mungkin seperti benang kusut yang sulit diurai dan diluruskan.

"Fiya ...." lirihmu melepas kepergianku. Pepatah yang mengatakan mencintai tak harus memiliki, ternyata sesakit ini.

Perasaanku yang dulunya mekar kini telah layu. Aku hanya tinggal menunggu sampai namamu benar-benar enyah dari hati yang mulai membeku. Lalu membuka lembaran baru tanpa adanya kamu. Pasti rasa itu suatu saat akan terkikis oleh waktu.
Ya, benar! Aku hanya tinggal menunggu

End

WOOOO, DITINGGAL KAWIN GAES!
Jangan lupa tekan bintangnya kalau kalian suka, komennya juga biar bikin Melmel semangat nulis lagi! Ntar Melmel doain biar gak ditinggal nikah deeh, fufufu😂
Btw ini cermin ya (cerita mini)

See you in next cerpen & cermin

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang