Aku berjalan melewati jalan setapak kecil dengan membawa rantang nasi yang terbuat dari plastik. Mengantarkan makan siang untuk Ayah yang lelah bekerja di sawah seharian. Di umurku yang masih 7 tahun ini, seharusnya aku mendapatkan kasih sayang dari seorang Ibu. Tapi, harapan tinggallah harapan. Ibuku sudah tiada sejak aku kecil. Entahlah, aku juga sekarang tidak menanyakan hal itu lagi pada Ayah. Dulu, aku pernah menanyakan kemana, Ibu? Ayah tidak menjawabnya, ia hanya tertunduk lesu. Mungkin, ada kenangan pahit di masa lalu. Dan aku tidak ingin lagi membuka kenangan pahit Ayah di masa lalu."Ayaaah..!!" teriakku dari jauh sambil melambai-lambaikan tangan pada seorang lelaki paruh baya yang nampak sudah tua. Ia masih mencangkul di sawah. Ayah juga melambaikan tangannya ke arahku. Aku segera menghampirinya dengan berlari-lari kecil di atas jalan setapak yang licin dan sesekali hampir tergelincir
"Hati-hati, Nak," nasehat Ayah
Siang itu, aku makan nasi berlauk tempe bersama Ayah. Walau hanya ini rezeki yang Tuhan berikan, kami tetap bersyukur masih bisa merasakan nikmat-Nya.
Siang telah berlalu, sore pun tiba. Saatnya untukku dan Ayah pulang ke rumah.
Dengan langkah gemetar, Ayah memikul sekarung padi yang sudah di panen. Aku tau, Ayah hanya berpura-pura kuat di hadapanku. Aku mengikutinya dari belakang. Terlihat bahunya yang dulu kekar, sekarang kurus tinggal tulang. Sungguh! Ini pemandangan yang menyedihkan bagiku.
"Ayaah..!!" teriakku sambil berlari saat Ayah tergelincir di jalan setapak yang licin. Padi yang di pikulnya pun tumpah berserakan.
Aku segera membantu Ayah berdiri dan memungut padi yang berhamburan. Kini, Ayah berjalan terpincang-pincang, kaki ayah pasti keseleo. Ditambah lagi dengan beban berat yang tersandar di bahunya, pasti sakit. Tapi ayah tak menyerah.
Dengan berterangkan lilin, jam 19:30 aku masih belum memejamkan mata. Aku sangat gelisah, seperti akan ada sesuatu berharga dalam hidupku yang akan hilang dalam waktu dekat.
"Kenapa belum tidur, Nak?" tanya Ayah yang berjalan masuk ke kamarku yang sempit.
Aku hanya menggelengkan kepala. Ayah duduk di depan jendela kamarku yang masih terbuka.
"Sini, Nak," panggil Ayah seraya menepuk-nepuk lantai beralas karpet yang terbuat dari daun kelapa yang telah usang.
Aku duduk di samping Ayah. Kami sama-sama menatap ke atas langit yang bertaburkan bintang, bulan sempurna bundar bersinar terang. Dan suara jangkrik sebagai nyanyian malam.
"Ayah, aku lelah. Aku lelah saat melihat Ayah memikul padi yang berat, lelah membantu Ayah menuai padi kita. Aku.. lelah dengan hidup kita yang seperti ini, Ayah." aku mengeluarkan keluh kesah yang terpendam di malam ini. Aku hanya.. lelah.
Ayah tersenyum hangat.
"Anakku, butuh kesabaran dalam menjalani hidup, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan, agar kita mendapat kemenangan. Seandainya kau tidak sabar, apa yang kau dapat? Kau tidak akan mendapat apa-apa Anakku. Oleh karena itu, bersabarlah."
"Tapi, Ayah. Tidak mudah untuk bersabar."
"Ayah tahu, oleh karena itu ada Ayah yang menggenggam tanganmu agar kau tetap kuat. Ada Ayah yang berada di sampingmu agar saat kau jatuh, Ayah bisa mengangkatmu. Tapi ingatlah Anakku.. Ayah tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh. Suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri. Maka jangan pernah kau gantungkan dirimu pada orang lain, jadilah dirimu sendiri. Seorang pemuda beragama yang kuat, yang tetap tabah dan sabar. Maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang," jelas Ayah panjang lebar

KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Short StoryKumpulan Cerpen, diisi dengan cerita-cerita pendek atau cermin (cerita mini). Dengan genre yang bercampur disetiap ceritanya. Entah itu religi atau fantasi, pokoknya campur aduk layaknya perasaan 😂