"Semangat Biru!"
Aku mengetikan pesan bernada semangat itu pada sebuah nomor yang sudah kuhapal bahkan dengan menutup mata. Biru. Pria yang setiap harinya selalu kukirimi pesan itu kurun waktu selama tiga tahun, pria yang kini sedang berjuang demi mendapatkan gelar spesialis dokternya, pria yang dengan sadar kucintai sejak SMA.
"Syani," panggilan seorang wanita membuyarkan lamunanku. Indera penciumanku tergoda ketika mencium harumnya bolu pisang yang baru keluar dari oven.
"Ngg... Iya Tante?" kataku sedikit kaku, Tante Melli tersenyum dan membuatku sedikit malu.
"Ngelamunin Biru, heh?"
"Ngga kok, mungkin gara-gara harumnya bolu pisang Syani jadi ngga fokus." kataku tertawa. Tante Melli mengambil piring lalu menaruh beberapa potong bolu pisang disana lalu mengambil sendok dan memberikannya padaku.
"Mungkin Biru sedang sibuk, jangankan untuk ngabarin kamu ke Tante aja jarang kok." ucap Tante Melli yang masih fokus memotong-motong bolu pisangnya.
"Syani paham itu Tan, termasuk dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Seperti ditinggal atau meninggalkan, gitu?" kataku sambil memakan bolu pisang buatan Tante Melli, buatan Ibunya Biru yang toko kue manapun tidak bisa menandinginya.
"Hussh kalau ngomong. Kamu masih sama Biru kan?"
Brahmanta Putra Biru, pria yang tahun ini menginjakkan umur duapuluh tujuh tahun. Wajahnya serupa lukisan Tuhan yang tak cacat sedikitpun. Sikap dan tutur bahasanya yang sangat sopan. Biru dengan semua pesona yang patut disombongkan sedangkan aku adalah wanita sederhana yang sangat beruntung bisa masuk ke dalam hidupnya Biru, menggenggam hatinya sebentar lalu ia membawaku ke sebuah kisah bernama entah. Dahulu semuanya tampak indah, biasa namun perubahan sikapnya yang nyaris bertolak belakang kurun waktu tiga tahun ini membuat aku cemas dengan kisah ini.
"Kalau nanti aku udah ngambil spesialis dan sibuk dengan segala urusanku. Apa kamu mau kita berjalan ditempat?"
Aku memutar film-film diotakku, mengingat pertemuan terakhir kalinya dengan Biru.
"Maksud kamu? Berjalan ditempat itu artinya salah satu dari kita bisa kapan saja menghentikannya kan? Itu artinya kita tidak beriringan lagi, gitu maksud kamu Biru?"
Harusnya aku sadar Biru sudah memberi sebuah tanda-tanda sejak awal.
"Aku tidak akan pernah berjalan di depanmu dan aku juga tidak akan membiarkan kamu mendahuluiku. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu di belakang karena akupun tidak ingin di belakangmu. Kita berjalan ditempat, sekalipun berhenti. Kita akan tetap berada di tempat yang sama bukan?"
Aku terdiam saat itu, meresapi semua perkataan Biru. Rasa tenang merasuki jiwaku hanya dengan pelukan dari Biru. Hei, aku rindu kamu, Biru.
"Setelah itu, setelah semua cita tergapai. Aku tidak akan membiarkan kamu mundur barang setengah kuku. Aku akan menarikmu kedepan, menyamaiku dan bersama denganku. Sya."
Seketika ada rasa hangat mendekap tubuhku persis seperti pelukan Biru. Aku tunggu, Bi. Aku tunggu. Kamu tidak meninggalkanku dan mendahulukanku kan Bi? Aku tunggu kamu.
"Ah, yasudah kalau mikirin Biru terus nanti kamu ngga berangkat kerja. Nih dibawa ya, kasih temen-temen kalau kebanyakan. Oke?" untuk kedua kalinya Tante Melli membuyar lamunanku. Aku tersenyum padanya lalu mengambil kotak makan yang diberikan kepadaku.
Aku memberinya salam. Lalu menuju mobilku, membelah jalanan Ibukota yang ramai. Mencari Biru, ah tidak tidak.
Citaku sudah hampir tercapai Bi, dan kaupun sama. Mengapa tidak pulang Bi? Oh maaf itu terdengar seperti meragukanmu, maksudku kapan pulang, Bi?
~~~~~~
Hai,
Gimana chapter pertamanya? Cerita ini akan diupload setiap hari yaaa uhhh akhirnyaa
Karena sebetulnya cerita ini udah tamat dan sudah pernah diterbitkan di platform online lainnya namun karena satu dan lain halnya jadi cerita ini bisa aku upload lagi di wattpad.Iya, iya, tau. Kan masih banyak cerita yang masih belum selesai yhaa hehe tapi gpp kan yaa?
Aku mau mulai produktif nulis lagi, doakan semoga lancar lancaarrr
Salam,
Minds_
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Waktu
ChickLitPada garis waktu, aku percaya bahwa datang dan pergi adalah hal yang biasa.