Keduapuluhempat

5.8K 529 22
                                    

Aku masih menyimpan foto itu, foto Biru dengan Prisa. Tentu saja aku tak menyimpannya di dalam kamarku dengan Biru karena aku sangat menyakini jika Biru akan menemukannya. Kurang lebih dua hari aku bersikap seolah biasa-biasa aja, aku tak ingin tersulut emosi hanya dengan foto terlebih foto itu juga foto lama sehingga aku tak perlu memikirkannya.

"Sya~" aku langsung menatap Biru yang berada di hadapanku. Sekarang kami sedang berada di meja makan, menikmati sarapan pagi di hari minggu.

"Ya?"

"Kayaknya belakangan ini kamu sering melamun, ada yang dipikirkan kah?" tanyanya yang sedikit khawatir itu.

Iya, kamu, Biru. Kamu yang sangat menguras pikiranku akhir-akhir ini.

Aku menggeleng lalu tersenyum manis seperti biasanya.

"Ngga kok, aku emang lagi capek aja sama pekerjaanku." kilahku dan nampaknya Biru mempercayainya.

Biru menjulurkan tangannya, mengusap-ngusap rambut hitam panjangku. Lalu dia mendekatkan dirinya padaku dan memberi kecupan hangat di keningku.

"Kamu kerja?" aku menatapnya dan baru sadar jika Biru menggunakan pakaian formalnya untuk bekerja, padahal ini hari minggu dan setahuku Biru tidak ada jadwal di hari ini.

Biru mengangguk dan tersenyum.

"Nanti ada operasi, mungkin agak gitu lama. Maaf ya, aku juga baru tahu jadwalnya kalau kamu bosan kamu boleh pergi kok." katanya. Aku hanya mengangguk. Aku tahu pekerjaannya sebagai dokter dan menolong orang lebih terpenting baginya, aku paham dan berusaha mengalahkan egoku.

"Sya, aku pamit ya?" kata Biru sambil berdiri lalu mengambil kunci mobil yang ia letakan di sampingnya tadi. Aku mengikutinya lalu berjalan untuk mengatarkannya sampai depan pintu rumah.

"Hati-hati ya, Mas." kataku sambil menyalaminya. Biru mengangguk.

"Kamu, hati-hati juga ya di rumah kalau ada apa-apa telepon aku."

Aku tersenyum padanya sebelum akhirnya Biru memasuki mobil miliknya.

Setelah mengantarkan Biru, aku menutup pintu rumah lalu memutuskan untuk membersihkan meja makan dan mungkin sedikit berberes-beres membantu Bi Imah.

Namun tak lama, aku kembali mendengar suara mobil yang sepertinya berhenti di depan rumahku. Mungkin itu Biru, mungkin saja ada barang yang tertinggal. Baru saja aku melangkah untuk kembali membuka pintu, aku kembali mendengar suara mobil itu yang sepertinya menjauh dari rumahku. Meski begitu, langkah kakiku sama sekali tak berhenti.

Aku membuka pintu, memperhatikan keadaan sekitar. Sepi, tak ada orang. Mendadak rasa takut mencuat di dalam hatiku lalu aku memutuskan untuk menutup pintu namun tak sengaja pandanganku mendapati sebuah kotak berwarna, ukurannya memang tak terlalu besar namun sangat terlihat begitu menarik perhatian. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil kotak itu lalu membawanya ke dalam.

Setelah aku duduk di sofa ruang tamu. Aku menaruh kota itu di meja yang berada di hadapanku. Memperhatikan kotak itu dan menimbang dalam hati, membuka atau tidak.

Buka,

Tidak,

Sekiranya sudah puluhan kali aku mengucapkan itu di dalam hatiku. Huh. Aku menarik napasku. Dengan tangan gemetar aku mengambil kotak itu, dengan gerakan yang sangat lambat aku membuka kotak itu.

Tiket.

Di dalamnya hanya sebuah tiket penerbangan.

Aku memperhatikan tiket itu dengan seksama lalu setelahnya hatiku seperti berkedut-kedut, sakit, hanya itu dan tak ada yang lain saat aku mengetahui nama yang tertera di dalam sana. Perih sekali bahkan mampu membuat air mataku jatuh, perlahan namun setelahnya deras sekali.

Garis WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang