"Kamu mau aku mulai dari mana?"
Saat ini, aku dan Biru sudah berada di ruang tengah dengan posisi berdiri saling menghadap.
"Kamu mau aku mulai dari mana?" Biru mengulangi ucapannya.
Aku diam, saat ini aku hanya ingin mendengarkan ucapan Biru dan meresapinya perlahan-lahan.
"Aku tidak punya hubungan apa pun dengan Prisa. Semua murni rekan kerja terlebih dia juniorku, dia banyak membantuku saat aku di Singapura sampai akhirnya aku tahu kalau dia punya peasaan lebih padaku. Sya, hati itu bukan untuk diatur dan aku tidak bisa mengendalikan perasaan Prisa padaku."
Aku masih diam, tak menanggapi ucapan Biru. Seketika aku teringat dengan ucapan Nadin beberapa waktu yang lalu saat aku cerita tentang rencana pernikahanku dengan Biru.
"Lo percaya itu?"
"Lo percaya itu?"
Ya, aku percaya saat itu. Tapi sekarang, Biru menggoyahkan kepercayaan yang telah kuberi untuknya.
"Aku memang benar pergi ke Jogja, bersama Prisa. Tapi, itu murni pekerjaan. Karena aku dan Prisa harus menggantikan dokter Ibam yang sedang cuti. Keadaannya mendesak bahkan terkesan mendadak. Maafin aku Sya."
"Lo percaya itu?"
Biru menggenggam tanganku, "pertemuanku dengan Prisa kemarin itu—"
"Murni pekerjaan." Aku memotong dengan cepat ucapan Biru, semua, semua yang Biru katakan hanya murni pekerjaan tapi pekerjaan apa yang bertemunya di luar jam kerja? Yang pekerjaannya pelukan tiba-tiba serta perihal teman-menemani di apartemen milik perempuan?
"Sya~"
Aku membuang tatapanku ke arah lain.
"Pekerjaan apa yang membuat kamu harus menemani Prisa di apartemen dan memilih untuk berbohong sama istri kamu yang semalaman itu terus mikirin kamu? Pekerjaan apa?" aku kembali menatap Biru.
Biru diam.
Detik demi detik sudah berlalu dengan begitu cepat, tapi Biru masih bergeming dan genggaman tangannya di tanganku mulai mengendur. Aku memilih untuk mundur beberapa langkah, menjauh dan duduk di sofa. Karena kakiku melemas berkat sesak di dada yang masih aku tahan sejak tadi.
"Prisa pindah ke apartemen barunya, aku hanya menemaninya karena dia belum tahu lingkungan sekitarnya persis seperti yang ia lakukan padaku saat aku pertama kali pindah ke Singapura. Itu saja, aku hanya ingin berbuat baik dan membalas kebaikannya saja." Biru menghampiriku dan memilih untuk duduk di sampingku, "Percaya sama aku, Sya."
"Dan kamu memilih untuk berbohong sama istri kamu? Bi, itu artinya kamu tidak percaya sama aku, masih ada hal-hal yang berusaha kamu tutupi dari aku. Sekarang, bagaimana aku bisa percaya sama kamu kalau kamunya saja tidak percaya dan tidak mau terbuka sama aku?" ucapanku melemah seiring tangisan dari mataku yang mulai membasahi pipiku. "Bahkan Prisa pun tidak tahu kalau kamu sudah menikah? Iya? Kamu mau menutupi status kamu untuk apa? Untuk menjaga perasaannya?"
"Aku hanya belum sempat mengatakannya pada Prisa, Sya."
Aku tersenyum tapi air mataku tetap saja keluar.
"Bohong.." kataku lirih.
Biru memegang kedua pundakku, "Sya, dengerin aku. Aku tidak memiliki hubungan serta rasa apapun pada Prisa." Ucapnya sambil menatapku, suaranya terdengar begitu yakin dan tenang sekali seperti apa yang dikatakan oleh Biru memang sebuah kebenaran.
"Tapi..."
"Sya, aku tidak menganggap Prisa lebih dari sekedar teman baik dan rekan kerja, itu---"
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Waktu
ChickLitPada garis waktu, aku percaya bahwa datang dan pergi adalah hal yang biasa.