Keduapuluh

6.9K 499 4
                                    

Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat rasa-rasanya. Siang tadi aku baru saja mengunjungi kediaman terakhir ayah dan ibu, meminta izin dan restu padanya bahwa besok adalah hari pernikahanku dengan Biru. Meski rasa sedih itu pasti ada karena ketiada hadiran mereka namun, aku hanya ingin ayah tahu jika aku sangat bahagia telah bisa memenuhi permintaan terakhirnya.

Malam ini, aku sudah berada di Bogor. Aku sedang berada di kamar hotel yang nantinya akan kutempati sementara dengan Biru setelah ijab qabul diucapkannya pagi nanti. Rasanya, aku masih tak percaya bahwa akhirnya aku akan menikah dengan Biru setelah banyak sekali rintangan yang aku hadapi.

Ponselku berbunyi tanda ada panggilan masuk.

Biru.

Aku tersenyum sebelum mengangkatnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Sya."

"Ada apa? Kamu udah sampai Bogor, Bi?"

"Udah Sya, aku kok gugup banget ya, kamu belum tidur udah larut lho." aku melirik ke arah jam, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul setengah duabelas malam.

"Aku juga gugup kok sampai ngga bisa tidur."

"Tapi, setelah ini tidur ya, Sya."

"Biru~"

"Ya?"

"Ar-rahman?"

"Allamal qur'aan." aku tersenyum saat Biru meneruskan ayat ke dua dari surat ar-rahman. Memang sebelum ijab qabul aku meminta padanya untuk membaca surat itu sebagai pedoman untuk kehidupan rumah tangga kami nantinya. Karena biar nanti jika aku kekurangan, jika aku sakit, jika ada hal-hal yang membuatku sulit , aku dan Biru akan selalu ingat dengan potongan ayat yang mengatakan 'Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?'

"Jangan sampai lupa ya, sayang."

"Iya, aku tutup ya, kamu tidur jangan sampai engga lho ya."

"Iya, see you tomorrow, Bi."

"Iya, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Garis Waktu

Tante Veny memoleskan kembali bedak di wajahku. Dalam hati, aku menghitung dengan cemas karena kurang dari tiga puluh menit lagi ijab qabul itu akan dimulai.

"Wah, kamu cantik banget Sya." puji Tante Veny ketika ia telah selesai mendadaniku.

"Ngaca ya, tan?" pintaku padanya dan langsung tante Veny menggelengkan kepala. Dikeluargaku mempunyai tradisi bahwa mempelai perempuan tidak boleh berkaca sampai acara ijab qabul itu selesai katanya nanti wajahnya tidak pangling.

"Kak Syani~" teriak Denya, si perempuan yang baru beranjak dewasa itu kini terlihat cantik di hadapanku dengan dress selutut berwarna abu-abu dengan kombinasi merah mudah itu.

"Ada apa?" kataku padanya.

"Ngga ada apa-apa, kakak kok cantik banget sih nanti ya kalau Denya nikah Denya mau kaya kak Syani gini aja, simple tapi cantik." kata Denya sambil merhatikanku dari atas sampai bawah. Aku dan Biru memang tidak menggunakan adat, hanya kebaya putih sederhana dengan sanggulan yang biasa tapi darah-darah sunda itu masih mengalir dari riasan yang aku pakai.

"Oya, Mas Biru sudah sampai lho, kak."

Aku melihat jam, setahuku hitungan yang aku lakukan masih tersisa beberapa menit lagi namun setelah melihat jam, waktu itu akhirnya tiba juga.

Garis WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang