Kelima

12.4K 1.1K 27
                                    

Aku memarkirkan mobilku di depan rumah Tante Melli, aku berjalan ke rumahnya sambil membawa plastik serta tempat makan miliknya yang baru sempat aku balikkan hari ini.

"Assalamualaikum," kataku yang melihat Tante Melli sedang duduk di ruang tamu, membaca buku resep kue terbaru.

Tante Melli menaruh bukunya, menghampiriku di depan pintu dengan senyumnya, "waalaikumsalam, masuk Sya."

Aku mengikutinya masuk ke dalam rumah lalu duduk di ruang tamu, ruang tamu yang dihiasi foto keluarga, Tante Melli dan tentu saja Biru.

"Kamu bawa apa itu Sya?" Tante Melli menunjuk plastik bawaanku.

Aku tersenyum, "aku mau balikkin tupperware Tante, terus tadi karena belum makan aku beli sate padang dulu. Tante udah makan? Makan yuk kebetulan aku beli banyak."

"Wah Tante udah lama banget tuh ngga makan sate padang, semenjak Biru sekolah lagi udah ngga ada yang beli sate padang. Birukan suka banget Sya."

Aku tertegun sebentar. Ada rasa yang menyisakkan sesak didada.

Apa dayaku menampik itu? Aku memang beli sate padang karena aku rindu dengan Biru.

"Aku siapin ya Tante?" kataku sambil berjalan ke arah dapur dan Tante Melli mengikuti langkahku di belakang.

"Biruuuu~ ada Syani nak."

Apa?

Tante Melli bilang apa?

Biru ada di sini?

Aku tertegun, hatiku mencelos.

Aku belum siap jika harus bertemu dengannya sekarang, aku belum siap mendengar apapun tentang akhir hubungan ini.

Dengan semua yang dia lakukan. Aku belum siap jika harus merelakannya dan meninggalkan kisah ini. Aku belum siap, itu kemungkinan terburuk.

Dan aku takkan pernah siap akan hal itu.

Sebutlah aku apapun yang kamu mau, makilah aku semaumu tapi tolong jangan hentikan rasa cinta ini padamu. Biru.

"Biru baru sampe sore tadi Sya, tante juga tidak tahu ini terlalu mendadak. Biru bilang padamu?"

Aku menggeleng, karena nyatanya memang Biru tak pernah bilang apa-apa padaku selama tiga tahun ini.

"Dia itu emang suka ya bikin kejutan." kata Tante Melli sambil membuang bungkusan-bungkusan sate padang di tempat sampah sementara aku masih terpaku pada piringan sate padang lalu mengetukkan jemariku pada meja makan ini.

"Kok Biru belum turun juga sih, kamu mau manggilin dia?"

"Ngga usah tante, mungkin Biru capek dan sekarang lagi tidur kayaknya." ucapku yang diangguki Tante Melli dan kitapun memutuskan untuk memakan sate padang itu.

"Sya, tante ada resep baru loh besok atau lusa kamu temenin tante masak, mau kan?" katanya disela-sela acara makan.

"Oh hallo hallo? Kamu dimana? Aku jemput sekarang dan jangan kemana-mana. Kamu tanggung jawab aku, paham? Tunggu aku di sana."

Belum sempat aku menjawab ajakan Tante Melli, suara yang ku dengar dari arah tangga membuyarkan isi kepalaku.

Aku melihatnya sekarang, setelah bertahun-tahun dia tetaplah dia yang biasanya. Wajahnya masih serupa malaikat.

Tapi tunggu, tadi apa? Apa yang dia katakan ditelepon?

'Kamu tanggung jawab aku, paham?'

Aku tidak paham, aku tidak bisa berpikir. Aku kehabisan oksigen.

Apa itu artinya?

Iya itu artinya, kisah ini bertemu pada akhirnya.

Aku menahan tangis. Bersikap seolah semuanya biasa, baik-baik saja itu sangat menyiksa, percayalah.

Dia menghampiriku-tidak maksudnya dia menghampiri kami, tangannya terulur memberi salam bukan untukku tentu. Dia berpamit.

"Duluan ya Sya." katanya, hanya tiga kata namun mampu membuatku kehabisan kata-kata.

Semudah inikah seorang Biru mengucapkan selamat tinggal?

Setelah apa yang berjalan beberapa tahun belakangan ini?

Tiga kata, yang akan terdengar lebih indah jika kamu menggantinya dengan 'aku kangen kamu'. Tidak bisakah itu yang kamu katakan Bi?

Aku melihat punggungnya semakin menjauhi pandanganku. Hatiku sakit sekali. Perih, sampai mataku ingin mengeluarkan air mata.

"Sya, maafin Biru ya."

Aku tersenyum getir, "Apa? Maaf untuk apa tante? Biru ngga punya salah apa-apa kok. Kami memang sudah selesai, beberapa hari yang lalu."

Tante Melli kaget, sangat terlihat jelas dari raut wajahnya. Aku masih menampilkan senyumku lalu memaki dalam hati atas kesimpulan yang kutarik sendiri.

"Syaaa~"

"Aku pulang ya tante, makasih udah mau aku acak-acak piringnya." kataku sambil berdiri lalu mengambil tasku dan memberinya salam.

"Syaaa~" ucapnya, lembut sekali dengan tatapan teduh.

"Syani pamit tante. Assalamualaikum."

Garis Waktu

"Finally, i'm done."

Aku mengirimkan pesan itu pada Nadin sebelum akhirnya aku mematikan ponselku. Aku hanya ingin memberitahunya, dan berkata padanya bahwa iya, harusnya aku tidak terlalu percaya akan akhir yang indah setelah banyak menumpuk rindu yang bersabar. Harusnya aku tahu dari awal jika menunggu adalah sebuah keraguan dan tak pantas berlama-lama.

Aku meringkuk, memeluk lututku sambil menangis. Meluapkan rasa cemas, takut, kecewa di hati sambil meraung sampai aku tertidur.

Sekarang aku paham, tidak selamanya satu ditambah satu akan tetap satu.

Aku mengerjapkan mataku ketika mendengar suara deringan telepon rumah yang kuletakkan di nakas samping kasurku. Meski samar, aku masih bisa melihat angka dua di jam diding di hadapanku.

"Hallo."

"Assalamualaikum."

Aku membuka mataku lebar-lebar, suara ini sangat tidak asing untukku. Mas Tarra, untuk apa ia menghubungiku pagi buta seperti ini?

"Waalaikumsalam, masalah kerjaan ya mas?"

"Ngga, kamu kenapa? Baik-baik aja kan?"

"Aku ngga pernah sebaik ini, makasih mas aku jadi tergerak untuk solat sunah sehabis ini."

"Yasudah, kamu solat setelah itu tidur lagi ya. Oh ya, lain kali jangan pernah mematikan ponselmu aku sangat khawatir dengan itu. Paham?"

"Assalamualaikum."

Aku tidak sama sekali menjawabnya, terlalu pagi dan pusing untuk menanggapi perkataan Mas Tarra. Aku tahu ia serius dan aku tak siap akan hal itu.

Aku bergerak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Aku ingin merapalkan doa bernama Biru lalu menangis di dalam sujud. Aku ingin merendah pada-Nya bahwasannya tak pernah ada seseorang yang baik-baik saja setelah luka mengiris hatinya.

Garis WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang