Acara yang berlangsung berjalan sangat lancar. Pertemuan dengan beberapa pengacara lain cukup membuatku lelah hingga tidak menyadari jika sekarang jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tadi, aku juga sudah menghubungi Biru untuk segera menjemputku di kantor karena sebelumya dia mengatakan ingin menjemputku.
Satu per satu teman-temanku sudah pamit, tapi aku masih saja berada di sini, di depan kantor sambil menanti Biru tiba. Pandanganku beralih ke setiap arah sampai mataku menemukan sebuah mobil yang sudah aku kenali pemiliknya siapa berada tidak jauh dari sana. Mas Tarra, aku tahu itu mobilnya tapi yang aku tidak tahu adalah alasan mengapa sampai sekarang ia masih berada di sini padahal tadi dia salah seorang yang sudah pamit terlebih dahulu.
Mungkinkah dia menungguku?
Ah, aku rasa, aku berlebihan. Mungkin saja memang dia ada keperluan.
Kini pandanganku beralih lagi, tak lama dari itu aku melihat mobil Biru yang berjalan perlahan ke arahku. Senyum di bibirku mengembang saat sosok Biru sudah berada di hadapanku.
"Maaf ya, nunggu lama." Katanya.
Aku mengacungkan jempolku, "Ngga apa-apa."
Kemudian Biru menarik tanganku dan menuntunku masuk ke dalam mobilnya. Dan saat itu juga aku melihat mobil milik Mas Tarra sudah melaju mendahului mobil Biru.
Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Mas Tarra.
"Gimana hari kamu?" Biru bertanya sambil tangannya mengecilkan volume radio. Sementara pandangannya masih menatap jalanan Ibu Kota yang sepertinya tidak pernah sepi.
"Lancar, hari ini aku banyak dapat ilmu." Seruku bersemangat, "Gimana hari kamu?" lanjutku.
Mendadak aku bisa melihat air muka yang berubah di wajah Biru.
"Aku gagal hari ini." Katanya lirih.
Aku memegang bahunya, "apa yang gagal?"
"Salah satu pasienku meninggal."
Aku melihat wajah Biru yang kini sangat menunjukkan jika ia benar-benar sedih.
"Biru, it's okay. Aku tahu kamu sudah melakukan yang terbaik untuknya tapi setelah itu, Tuhan yang menentukannya, ya?" Aku megusap-ngusap bahunya dan berharap jika ini bisa menguatkannya. Aku tahu, kematian seorang pasien yang sudah dirawatnya menjadi momok terbesar buat seorang Dokter, aku paham apa yang Biru rasakan saat ini. Kekecewaan serta prasangka bahwasannya dia bisa melakukan lebih untuk menyembuhkan pasien-pasienya.
"Sya~"
"Ya?"
"Tetap seperti ini, ya?" tanyanya, aku menganggukinya.
Garis Waktu
Sesuai dengan perjanjian waktu itu, jika Biru ingin mengajakku ke rumah yang nantinya akan kami—aku dan Biru tempati nantinya setelah kami menikah. Dan sekarang tibalah aku di depan sebuah rumah bergaya minimalis ini, warna putih sangat mendominasi di bagian depan rumahnya.
"Ayo." Ajak Biru yang sudah membukakan pintu rumahnya.
"Mas Biru, apa kabar?" dari dalam rumah, aku melihat seorang wanita paruh baya datang menghampiriku dan Biru.
Biru tersenyum, "Syani, ini Bi Imah yang ngerawat rumah ini. Bi Imah ini Syani, calon istri Biru."
Aku menjabat tangan Bi Imah yang sudah terjulur dengan senyum di bibirku.
"Bi Imah, mbak." Katanya memperkenalkan diri lagi.
"Syani, Bi."
"Ya sudah, Biru mau ajak Syani lihat-lihat rumah ya, Bi." Kemudian Biru menuntunku untuk melihat-lihat rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Waktu
ChickLitPada garis waktu, aku percaya bahwa datang dan pergi adalah hal yang biasa.