Keenam

12.1K 1.2K 16
                                    

Hujan.

Aku tidak pernah menyalahkan hujan yang membuatku basah sebelum sampai ke apartement dan harus berteduh di halte bus yang sepi karena bahkan jalanan sore Ibukota yang harusnya ramaipun menjadi lenggang.

Akupun tidak pernah menyalahkan hujan atas apa yang sudah ia bangun kembali dalam kepala, yang sudah ia usik dalam hati. Angan yang bernama lengkap kenangan yang sudah ku kubur dalam-dalam kini harus bangkit tanpa alasan.

Biru, wajahnya kembali mengisi sela pikiranku yang tidak pernah absen menyapanya. Semua tentangnya masih membekas di mana-mana.

Setelah bertahun-tahun menunggu, aku dan perasaanku butuh jawaban dan yang semalam bagiku terlalu abu-abu.

Biru sejak kapan kamu berganti nama menjadi kelabu?

Sejak kapan mengingatmu begitu menyesakkan dada?

Kemanakah bahagia yang selalu kamu janjikan?

Kemana angan indah yang selalu kamu utarakan?

Aku melirik singkat jam tangan di tanganku bahkan waktu bergerak saat aku diam. Jadi, masih adakah kemungkinan jika waktu yang bergerak akan mempersatukanku kembali dengan Biru?

"Hujannya di sana tapi kok basahnya di sini sih?"

Aku menatap ke arah suara yang mengusik ketenanganku. Seorang pria berkemeja rapi berdiri di hadapanku dengan payung di genggamannya.

Seketika ototku kaku. Oksigenku terbatas. Aku... Aku butuh pegangan sekarang.

Mata kami bertemu, miliknya bulat serta hitam dengan tatapan yang meneduhkan seperti dulu, seperti alasan-alasan yang membuatku jatuh cinta hanya dengan sekali tatap.

"Biru?" aku megap-megap. Sosok di depanku tersenyum dengan manis. Semuanya, bagian dari dirinya sangat aku rindu kecuali ketidakpeduliannya selama ini.

"Pipi kamu kenapa Sya? Mikirin apa sampai menangis?"

Aku langsung mengusap wajahku kasar.

"Ini tadi kehujanan kena wajah terus belum dibersihin."

Biru menangguk, lalu tangannya mengambil sapu tangan di kantung kemejanya. Mengangkat tangannya untuk membersihkan wajahku.

"Jangan pakai tanganmu, pakai ini saja bersih kok. Aku menjamin itu." katanya.

"Pulang bersamaku, ya?" tambahnya lagi.

"Terlalu repot untukmu, kita beda arah." sungguh, akupun tidak tahu mengapa harus kata itu yang aku ucapkan padanya.

Dia menyunggingkan senyumnya. "Sejak kapan kamu membangkang?"

"Lagipula aku tidak akan datang untuk dua kali. Nampaknya pria bertato di sana daritadi mengincarmu dan ah iya pria di situ sejak tadi melihatmu dengan tatapan kotor, apakah mereka bersekongkol bu pengacara?" lanjutnya.

Aku diam sebentar lalu ekor mataku melirik ke sana, ke situ dan aku baru sadar jika hanya aku satu-satunya wanita yang ada di sini. Aku bergidik ngeri, melempar pandangan takut pada Biru.

"Ayo." katanya memanduku memasuki mobil camry miliknya.

Garis Waktu

Senyap. Sunyi. Hanya terdengar suara Rara Sekar yang sedang mengalun di radio.

Biru masih fokus menatap jalanan yang di basahi hujan yang membuatnya harus mawas. Sedangkan aku, pandanganku berlari-lari tak tentu arah, kadang menatap rahang tegasnya lalu beralih ke tangan kekarnya yang membuatku tidak fokus dan mengalihkan pandanganku ke kaca mobil.

"Sya, tolong ambilin jas aku di jok belakang deh takut kusut."

Aku menurutinya dengan gerakan cepat. Aroma parfum miliknya sungguh kuat di jas dokter miliknya.

Biru mengapa kamu masih begitu memesona?

"Kamu pegang dulu ya." ucapnya sambil menatapku.

"Syaaa~"

Aku hanya berdeham. Menikmati pergantian lagu dari Banda Neira ke Payung Teduh.

"Masih suka Payung Teduh?"

"Memang alasan apa yang membuatku tidak suka?" aku berbalik bertanya. Rasanya benar-benar rindu sekali dengan percakapan-percakapan bersamanya.

Dia mengangguk.

"Di malam hari

Menuju pagi

Sedikit cemas

Banyak rindunya."

Samar kudengar Biru melantunkan bait terakhir dari lagu Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan.

"Iya ya, mustahil untuk tidak suka pada dia yang membuatmu jatuh cinta berkali-kali hanya dengan mendengar suaranya."

Iya, dan juga mustahil untuk tidak suka pada dia yang membuatmu jatuh cinta berkali-kali hanya dengan menatap matanya. Kamu, Biru.

"Maaf kalau aku lancang tapi aku cuma ingin tahu aja, semalam kamu telepon siapa?" ah, aku mengumpat dalam hatiku mengapa pertanyaan bodoh ini bisa aku tanyakan padanya.

Aku melihatnya, matanya menatapku dengan senyum sebelum akhirnya ia kembali menatap jalan.

Satu menit,

Dua menit,

Lima menit,

Biru sama sekali tidak menjawabnya.

"Sudah sampai." katanya sambil menunjuk apartementku.

"Masuklah dan istirahat."

Aku memegang pintu mobil dengan gemetar, jawaban diamnya seolah menyentakku dari semua segala harap yang tertuju padanya.

"Biru, inikah jalan di tempat yang kau maksud? Meski berhenti, kita tetap ada di tempat yang sama tapi apa kamu tahu jika kamu telah mendahuluiku? Meninggalkanku beberapa langkah?"

Biru menatapku, mengunci pandanganku.

"Tidak, aku tidak meminta jawaban apapun darimu karena aku tahu jawabannya. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang ingin aku ungkapkan saja. Maaf sudah merepotkanmu untuk mengantarku. Terima kasih." kataku yang langsung membuka pintu mobil dan pergi meninggalkannya di dalam mobil.

"Jangan berpikir macam-macam dan istirahatlah." teriaknya yang sangat jelas di telingaku.

Garis WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang