Hujan deras sekali ketika kakiku baru saja melangkah ke sebuah kafe di depan kantorku. Aku melirik ke arah Nadin yang sedang menyapukan tangan ke bajunya yang terkena percikkan air hujan.
Seperti orang kebanyakan, kurasa hujan membuat kebanyakan orang menyukainya termasuk aku. Akupun tak paham mengapa begitu namun ketika mendengar jatuhan hujan yang bertabrakan dengan tanah menghasilkankan aroma yang begitu menenangkan, setidaknya itu penilain terserah apa katamu apa.
"Sampai kapan Sya?"
"Apanya yang sampai kapan?" aku menatap Nadin. wajahnya menunduk, guratan-guratan sedih sangat jelas di sana. Aku tidak paham apa maksud Nadin.
Nadin menatapku, "Sampai kapan? Biru?"
Aku membulatkan mata. Aku paham maksudnya sekarang.
"Menunggu adalah seni merindu yang ikhlas, tak pernah sekalipun menuntut meski apa akhirnya, kapan berakhir dan dengan siapa diakhirinya."
Nadin menjentikkan tangannya ke meja kafe ini. Sunyi suasana menyebabkan lantunan lagu Banda Neira yang berjudul 'yang patah tumbuh, yang hilang berganti' begitu menusuk-nusuk hatiku.
"Realistis aja, kalau akhirnya menunggu lo itu justru membawa dia ke pelukan oranglain gimana?" Nadin berkata dengan yakin. Mulutnya menyesap nikmat gelas yang berisi kopi itu.
"Yang, yang patah tumbuh
Yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna."
Aku diam beberapa saat, aku tak punya jawaban apapun selain diam.
"Tuh, lo selalu bilang begitu tapi kenapa setiap gue tanya gini lo selalu ngga mau jawab. Lo ngga siap Sya, lo ngga siap dengan segala kemungkinan yang akan menyakiti lo nantinya. Lo ngga siap kalau suatu saat Biru ninggalin lo. Jadi Sya, gue mohon untuk lo berhenti sebelum rasa sakit yang menghentikkan lo." ucap Nadin sambil berkaca-kaca. Aku menahan napasku yang terasa begitu mencekat.
"Gue bahkan punya banyak alasan untuk meninggalkan dia. Tapi, gue cuma perlu satu alasan untuk tetap bersama dia. Cinta." aku menarik napasku.
Biru. Biru. Biru.
Nama yang indah, berwarna.
Namun mengapa kelabu yang kau beri untukku?
"Lo akan sakit hati kalau lo masih kaya gini." Nadin menekankan kata-katanya memberiku sebuah peringatan yang sudah kuhapal dengan betul.
"Nanti setelah ini menemui akhirnya. Gue akan ngerasa tolol untuk dua hal. Yang pertama, tolol karena udah menunggu dan yang kedua, tolol karena udah berhenti menunggu dan meninggalkan dia. Toh akhirnyapun gue akan tolol. Cinta tuh bikin bego, goblok nan tolol, Nadin." aku meringis karena ucapanku, hatiku kembali sakit lagi rasanya. Toh apapun akhirnya aku sudah terbiasa dengan rasa sakit. Harusnya Nadin tak perlu khawatir padaku.
Nadin menatapku dengan buliran air mata yang mengendap di matanya. Tangannya menggenggam tanganku, hangat.
"Teruskanlah jika emang lo rasa Biru adalah orang yang pantas lo perjuangkan. Gue di belakang lo, dari awal lo tahu itu kan? Gue ngga akan ngebiarin lo jatuh karena sebelum lo jatuh bakalan ada gue, Sya." dia tersenyum meski getir. Aku tersenyum padanya, tanganku dan miliknya sama-sama menyeka air mata yang jatuh di pipi masing-masing.
Pintu kafe berdecit. Aku dan Nadin langsung mencari tahu siapa yang datang, sebenarnya ini tak begitu penting namun setiap orang pasti punya spontanitasnya masing-masing. Dan aku dengan Nadin nampaknya memiliki spontanitas yang sama.
Seorang pria berkemeja berjalan ke arah menjaku dan Nadin, senyum di wajah manisnya, langkah yang tegap. Bang inu. Meski umurnya sekarang duapuluh delapan tahun namun wajahnya masih seperti SMA dulu.
"Duduk Nu, ngga usah kaget. Wajah kita emang gini kalau lagi pusing ama kerjaan." kata Nadin mempersilakan Bang Inu duduk, di sampingnya.
"Berantakan ya kaya teras rumah yang belum disapu."
Aku tertawa, begitu juga dengan Nadin.
Pahamkan dengan teori hidup layaknya rollercoaster kau akan menjerit ketakutan lalu menangis sebelum akhirnya tertawa setelahnya. Sekarang aku merasakannya.
"Oh iya, Sya-"
"Minum apa Nu?" Nadin memotong ucapan Bang Inu.
Bang Inu, "lo posesif amat baru juga mau ngomong sama Syani udah di potong-potong aja."
"Eh tapi mau jus alpukat deh." lanjutnya lagi yang membuatku sedikit tersenyum.
"Yee dasar lo, yaudah gue pesenin dulu." kata Nadin sambil bangun dari duduknya.
Aku melihat Nadin yang semakin menjauh. "Lanjut Bang, ada apa?"
"Gue ikut reunian Fisfor.a dong. Lo ikutan kan?"
"Emang angkatan abang juga? Setahu aku cuma angkatan 27 doang, Bang." kataku.
"Biru semalem ngontak gue minta band gue buat nampil di sana yaudah gue iyain deh."
Aku manggut-manggut. Selain ketua osis dan tentu saja tempat dekat Biru, Bang Inu juga menjadi anggota band di SMA yang cukup terkenal pada masanya.
"Emang masih sering latihan ya bang?" tanyaku penasaran karena seingatku band itu terakhir tampil saat pensi sepuluh tahun yang lalulah kira-kira.
"Ngga sih, tapi untuk sekolah tercinta apasih yang ngga. Gunungkan kudaki, lautan kuarungi, lembah kujelahaji lalu datang swiper jangan mencuri."
Aku tertawa puas mendengarnya.
"Tapi mau tahu alasan yang utama?" lanjutnya.
Aku mengangguk.
"Mau liat mantan-mantan sekalian minta CP yang bisa dibutuhin kalau lagi-"
Pllakk
"Kalau lagi apa? Haa? Maksudnya apa?" aku melihat Nadin yang sudah berbalik. Iya, yang tadi itu tamparan dari Nadin.
Bang Inu meringis. "Kalau lagi butuh. Mantan akukan ada yang tukang tenda, catering, bunga, dll. Mantan akukan multifungsi gitu."
Aku tertawa mendengar, jelas sekali ucapan Bang Inu adalah kilahnya dari tuduhan-tuduhan Nadin.
"Oh yaa? Coba ngomong sana sama ember. Ember juga ngga akan nanggepin tuh." kata Nadin dengan nada yang sangat menyinggung.
"Oh jelas itu. Emberkan benda mati, mau dipukulin berkali-kalipun dia ngga bakalan ngomong tapi kalau kamukan benda hidup, mau dipelukin berkali-kali juga kamu masti bakalan ngomong 'tambah ciumannya dong' pasti gitu deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Waktu
ChickLitPada garis waktu, aku percaya bahwa datang dan pergi adalah hal yang biasa.