"Syani~"
Ah! Aku menghentikan langkah saat mata Biru sudah menatapku dalam-dalam.
"Kamu dari mana? Kok baru pulang?" tanyanya sambil mengucek matanya perlahan.
Aku bergeming beberapa saat dan mulai kembali berjalan. Tapi Biru kali ini tak mendiamiku, ia sudah berhasil menahan tanganku.
"Kamu menghindar, itu membuatku hampir gila Sya. Kita bisa bicara 'kan?"
Aku tak tahu mengapa ucapan yang terdengar begitu santai itu bisa Biru ucapkan dengan mudahnya. Apa ia tidak tahu gejolak macam apa yang sedang melandaku saat ini? Tak cukup paham air mataku menjelaskannya saat ini?
"Kamu memang menghindar tapi aku tahu kamu akan pulang, makannya sengaja aku meninggalkan mobilku di rumah sakit. Biar saat kamu pulang, kamu tak akan pergi saat tahu aku ada di rumah."
Aku cukup terkejut dengan pengakuannya saat ini.
"Kita bisa bicara 'kan?" tanyanya lagi yang seolah-olah ingin memastikan.
"Bisa kamu lepas tangan kamu?"
Biru tak menanggapi ucapanku. Sorotan matanya terlalu jelas untuk berkata tidak.
"Dan membiarkan kamu pergi lagi? Tidak akan lagi, Sya." Ucapnya begitu lembut di telingaku.
"Aku tidak se-pengecut kamu, Brahmanta Putra Biru." Tegasku yang sepertinya melesat begitu sempurna ke Biru hingga akhirnya laki-laki itu melepaskan genggamannya.
Aku berdecak pelan, tersenyum tipis. Dan memilih untuk duduk di kursi sofa, Biru hanya mengikutiku.
"Sya~"
"Bi~"
Aku bisa menebak apa yang ingin Biru katakan padaku. Penjelasan-penjelasan dan kata maaf yang sudah tak ada artinya lagi untukku.
"Kamu dulu." Katanya mempersilakanku untuk berbicar lebih dulu.
"Kita pisah rumah, ya?"
Aku tahu pasti ada sesuatu yang meledak di dalam dirinya saat ini. Biru sangat terkejut dan itu terlihat dengan jelas dari raut wajahnya saat ini.
"Sementara, hanya sementara."
Biru diam. Matanya mengedar, "kenapa?" dari sekian banyak kata yang ada di benaknya saat ini Biru memilih untuk berkata seperti itu.
Aku tersenyum sinis, "ternyata benar, aku tidak bisa hidup dengan seorang penipu, seorang pencabut nyawa." Ucapan sok kuat itu akhirnya menenggelamkanku kembali, aku kembali menangis dan terus begitu setiap kali menyadari apa yang sudah Biru lakukan padaku.
"Aku butuh waktu untuk menenangkan diri agar tak salah mengambil langkah lagi."
Raut wajah Biru berubah, penyelasan itu sangat tampak. Aku ingin membisikinya bahwa setalah ini semuanya akan baik-baik saja tapi aku mengurungkan niatku dan tetap pada keputusanku.
Biru kembali diam, sementara aku sudah mengambil langkah menuju kamar untuk memberesi beberapa pakaianku dan pergi dari sini.
"Sya—" Biru menahan tanganku kembali.
"Aku paham dan terima keputusan kamu. Tapi, biar aku saja ya yang pindah?" katanya dengan tatapan yang tak mampu aku jelaskan. Sorot matanya penuh luka. Suaranya kelu bergetar. Dan sakit itu kembali terasa lagi, lagi dan lagi untuk kesekian kalinya.
"Ini rumah kamu." Ucapku yang juga menatapnya.
"Dan ini untuk kamu."
"Ini punya kamu, Biru."
"Punya kamu dari aku."
Aku menghela napasnya.
"Bi, tolong permudah aku jangan persulit aku." Ujarku lirih, "Semakin sulit untukku menenangkan diri kalau aku masih mengingat-ingat tentang kamu."
Aku tak tahu perkataanku salah atau benar tapi dengan perlahan tangan Biru mulai mengendur, Biru melepaskanku tapi sorot matanya semakin mengikatku untuk tetap berada di posisi ini lebih lama.
Biru menarik napasnya berat. Satu, satu tetes air mata keluar begitu saja dari matanya. Aku dapat melihat jelas itu tapi sekuat tenaga dan secepat kilat Biru menghapusnya.
"Ya, aku tak akan mempersulitmu." Katanya berbesar hati. Biru tersenyum, meski tak seperti biasa, meski hanya senyum tipis tapi percayalah senyum di bibirnya tetap mampu membuat lengkungan di bibirku juga.
"Terima kasih." Ucapku sambil pergi meninggalkannya, menuju kamar dan memberesi barang-barangku. Tak semua aku bawa, hanya beberapa. Sengaja memang, tapi aku tak tahu alasannya apa aku melakukan itu.
Setelah semua sudah aku kemas ke dalam koper. Aku melihat Biru masih berada di sofa dengan tangan yang memijit dahinya kencang. Wajah frustrasinya sangat begitu jelas.
"Sya~" panggilan Biru membuat langkahku terhenti.
"Ya?"
"Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku." Biru mengulang-ulang kata-kata itu entah sampai berapa ratusan kali. Aku masih mematung, sesak di dadaku kembali terasa. Melihatnya sekarang yang tak berdaya sungguh semakin membuat sakit hatiku.
"Maafkan aku." Biru berdiri, menghampiriku. Memelukku seakan tak ada lagi hari esok, pelukannya begitu kencang, erat bahkan sampai membuatku menjatuhkan koperku untuk membalas pelukannya.
Dada miliknya masih saja menjadi tempat ternyamanku bahkan saat kacaunya hatiku.
Aku melepaskan pelukannya. Mengambil koperku kembali, "Sudah ya?"
"Maafkan aku." Ucapnya sebelum Biru mengecup dahiku dan turun ke bibirku hanya sekilas memang tapi rasanya tetap saja seperti pertama kalinya.
"Biru?"
"Ya?" matanya kini bertatap penuh harap.
Aku menjulurkan tanganku dan memberi kode untuknya menjabat tanganku.
"Aku sudah memaafkanmu. Kamu tidak perlu takut akan dinginnya lantai penjara, kamu tidak perlu cemas dengan hari-hari yang akan kamu lalui setelah itu karena kamu tahu jika kamu telah mendapatkan maaf hingga akhirnya kamu bisa melanjutkan hidupmu dengan tenang, aku pun samanya dan terlebih dengan ayah." Aku berkata seperti itu, karena aku mendadak teringat dengan obrolanku dengan Biru saat ia menanyakan apa yang akan aku lakukan saat aku mengetahui pelaku yang menabrak ayahku.
Dan, ya.
Aku mengatakannya sekarang, padanya, sebagai seorang pelaku yang menabrak ayahku.
Biru mematung di tempatnya meski begitu aku masih bisa mendengar desis kata maaf yang terus ia ucapkan.
Aku tak mengangguk dan tak juga menggeleng. Dengan langkah pelan dan tanpa iringan suara lagi aku melangkah meninggalkan rumah kami—menuju ke entah ke mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Waktu
ChickLitPada garis waktu, aku percaya bahwa datang dan pergi adalah hal yang biasa.